Di tengah semakin banyaknya warga Gaza yang meninggal akibat kelaparan, Indonesia mencoba mengirimkan berbagai kebutuhan pokok, termasuk selimut, makanan pokok, makanan siap saji, dan obat-obatan.
Misi pemberian bantuan lewat udara dilakukan Indonesia bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan Indonesia, Minggu (17/8/2025).
Sebanyak 17,8 ton bantuan yang dikirimkan merujuk pada tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, yaitu 17 Agustus.
Pihak TNI mengatakan, misi bantuan yang diberikan Indonesia ke Gaza dilakukan bersama negara-negara lain yang dipimpin oleh angkatan udara Yordania.
"Momentum Hari Kemerdekaan tidak hanya kita rayakan dengan upacara, tetapi juga dengan aksi nyata kemanusiaan. Semoga bantuan ini dapat meringankan beban saudara-saudara kita di Gaza," ujar Kolonel Pnb Puguh Julianto selaku komandan misi.
"Melalui metode airdrop, bantuan dapat menjangkau wilayah-wilayah yang sulit ditembus melalui jalur darat," tambahnya.
Selain memberikan bantuan lewat udara, Indonesia juga pernah mencoba mengirimkan bantuan ke Rafah, bersama dengan lembaga amal Mesir.
Mokhamad Mahdum dari Badan Zakat Nasional Indonesia (BAZNAS), mengatakan bahwa misi tersebut "tidak mudah" karena keamanan dan peraturan di sekitar perbatasan yang berada di bawah kendali militer Israel.
Tiga dari lima truk yang membawa bantuan dari Indonesia diizinkan masuk, sedangkan dua lainnya masih menunggu izin, ujar Mokhamad dalam keterangan resmi BAZNAS.
Setidaknya setengah juta orang di Gaza dalam kondisi di ambang kelaparan dan sisanya mengalami kelaparan tingkat darurat akibat aksi militer yang dilakukan Israel di Jalur Gaza, menurut Program Pangan Dunia.
Meskipun tekanan internasional semakin meningkat untuk mengakhiri perang di Gaza dan meningkatkan pengiriman bantuan, Israel terus menyangkal jika mereka sengaja membuat warga Gaza kelaparan.
Namun, Amra Lee, peneliti Australian National University (ANU) yang juga mantan penasihat PBB untuk bantuan kemanusiaan dan resolusi konflik, mengkritik pengiriman bantuan melalui udara karena sifatnya yang "pencitraan" dan "tidak efisien".
"Pada dasarnya tidak aman karena cara bantuan tersebut dilempar, juga sangat tidak bermartabat dan tidak efisien," ujarnya kepada ABC Radio National.
"Yang dibutuhkan adalah bantuan berskala besar untuk mencapai Jalur Gaza dan juga dukungan khusus bagi anak-anak dan perempuan yang mengalami kekurangan gizi akut."
Amra mengatakan, bantuan udara terlihat bagus, tetapi tidak memberikan hasil yang memadai.
"Bantuan udara sangat, sangat visual, saya pikir bantuan tersebut membuat seolah-olah kita sedang melakukan sesuatu, tapi bantuan tersebut tidak dapat memberikan pasokan yang dibutuhkan, dan tidak dapat memastikan jika yang mendapatkannya adalah orang-orang yang paling rentan," ujar Amra.
Amra mengatakan, negara-negara dan komunitas internasional harusnya bisa lebih menekan Israel agar membiarkan bantuan dalam skala besar bisa masuk, yang dibutuhkan untuk mencegah kelaparan masal di Gaza.
Mendesak sanksi yang lebih kuat
Indonesia sudah lama menjadi pendukung Palestina, terutama dalam mengirim bantuan kemanusiaan.
Namun, Indonesia harusnya bisa berbuat lebih banyak untuk mengakhiri apartheid yang dilakukan Israel, menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat, dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta.
"Alasan Indonesia belum mengambil sikap yang lebih tegas kemungkinan besar karena kombinasi berbagai faktor," kata Dr Zulfikar.
"Indonesia butuh mempertahankan hubungan diplomatik dengan negara-negara kekuatan lain, kompleksitas geopolitik regional, dan kekhawatiran tentang potensi dampak memusuhi Israel dari sekutu-sekutunya."
Ia mengatakan, Indonesia seharusnya bisa lebih mendorong penerapan sanksi yang lebih keras terhadap Israel sambil mengadvokasi menuju perdamaian yang lebih adil dan langgeng.
Dua pekan lalu, Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto dikecam setelah mengumumkan rencana untuk menggunakan Pulau Galang yang tidak berpenghuni dekat Singapura untuk merawat 2.000 warga Palestina yang terluka akibat serangan Israel di Gaza.
Mereka yang mengecam mengatakan rencana tersebut malah sejalan dengan pernyataan Presiden Donald Trump awal tahun ini yang mengatakan Amerika Serikat dapat mengambil alih kendali Gaza dan mengubahnya menjadi "Riviera Timur Tengah."
Dengan rencana tersebut, warga Palestina tidak akan dapat kembali ke tanah kelahirannya, yakni Gaza.
https://www.kompas.com/global/read/2025/08/25/145929070/178-ton-hadiah-istimewa-indonesia-untuk-gaza-apakah-efektif