Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fathurrahman Yahya
Peneliti, Dosen

Dosen, Peneliti, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta

Kontroversi Nominasi Donald Trump Peraih Nobel Perdamaian 2025

Kompas.com - 01/08/2025, 06:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI ANTARA janji Donald Trump saat kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024, adalah menghentikan konflik menuju perdamaian di Timur Tengah, utamanya perang Hamas dan Israel di Gaza, Palestina, yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.

Tak pelak, pascakemenangannya atas rival politiknya, Kamala Harris, dan setelah resmi menjadi Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025, Trump berusaha memenuhi janjinya. Ia seperti berambisi untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah dan Dunia.

Berbagai upaya diplomatik dilakukan Presiden Trump untuk mengimplementasikan janji politiknya tersebut mewujudkan perdamaian.

Di balik itu, ternyata ada dorongan obsesif dan dukungan politik dari berbagai pihak agar Presiden Amerika Serikat mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian-Lauretes (Nobel Peace Prize) 2025. Pantaskah Donald Trump mendapatkan penghargaan prestisius tersebut?

Obsesi dan ambisi Donald Trump

Hanya beberapa bulan setelah dilantik menjadi Presiden AS, Donald Trump berada dalam front terdepan melakukan dialog, negosiasi dan mediasi konflik-perang-gencatan senjata-di beberapa kawasan.

Dengan segala kompleksitasnya, Donald Trump berusaha memediasi antara Presiden Vladimir Putin dan Presiden Volodymyr Zelenskyy dalam perang Rusia-Ukraina.

Baca juga: Trump: Anak Kandung Uncle Sam?

 

Selanjutnya, ia menjadi broker mediasi Pakistan-India (10 Mei 2025), Israel-Iran (24 Juni 2025) dan Rwanda-Repubik Konggo Demokratik (27 Juni 2025).

Upaya Trump menyelesaikan konflik antara Rusia-Ukraina serta Israel-Hamas di Gaza belum berhasil.

Dengan model diplomasinya yang penuh tekanan dan ancaman, Donald Trump menekan Thailand dan Kamboja untuk menaikkan tarif jika tidak segera melakukan gencatan senjata dan berdamai.

Bahkan, mengultimatum Rusia agar segera melakukan gencatan senjata dengan Ukraina dalam kurun waktu 10 hari.

Mencermati hal ini sungguh menarik, karena tidak seperti biasanya, negara super power seperti Amerika Serikat begitu cepat ingin menyelesaikan konflik dan perang seolah dikejar deadline sebelum pengumuman peraih Laureates, Oktober 2025.

Penyelesaian konflik dan perang yang kerap kali "dipelihara" dan "dikelola" dalam rentang waktu yang panjang dengan maksud dan kepentingan strategis tertentu, dapat dilakukan Trump dalam waktu singkat. Hal itu memunculkan pertanyaan, ada apa gerangan dibalik itu semua?

Keterlibatan Amerika Serikat saat ini dalam upaya gencatan senjata dan penyelesain konflik, terkesan memperlihatkan "obsesi" sekaligus "ambisi" Donald Trump untuk memperkuat nominasinya sebagai kandidat peraih penghargaan bergensi, Nobel Perdamaian.

Trump seolah berkampanye maraton dari kawasan ke kawasan lain untuk mendapat pengakuan internasional atas upayanya menyelesaikan konflik global.

Pascagencatan senjata antara Pakistan-India, Pakistan menominasikan Trump sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian. Selanjutnya, gayung bersambut, Israel melakukan hal yang sama.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau