Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Gaza Terpaksa Ikat Batu Bata di Perut demi Redakan Lapar

Kompas.com - 01/08/2025, 14:32 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber Al Jazeera

GAZA, KOMPAS.com - Di tengah reruntuhan Kota Gaza, Hani Abu Rizq melangkah dengan dua batu bata terikat di perutnya. Tali yang mengikat batu itu merobek bajunya yang kini kebesaran akibat berat badan yang terus menurun.

Pria berusia 31 tahun itu tengah berjuang mencari makanan untuk ibunya dan tujuh saudara kandungnya.

Ia menekan batu bata ke perutnya untuk menahan rasa lapar, sebuah cara kuno yang tak pernah ia bayangkan akan dilakukan di masa kini.

Baca juga: Paus Leo Soroti Kelaparan dan Kekerasan di Gaza, Desak Gencatan Senjata

“Kami kelaparan,” ujarnya dengan suara lemah karena kelelahan.

“Bahkan kata kelaparan saja tidak cukup menggambarkan apa yang kami rasakan,” tambahnya sembari memandangi orang-orang yang melintas.

Gerakan memperbaiki tali di pinggangnya telah menjadi rutinitas harian.

“Saya kembali melakukan hal yang dilakukan orang-orang zaman dahulu, mengikat batu ke perut demi menahan lapar. Ini bukan sekadar perang, ini kelaparan yang disengaja,” ucap dia, dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (31/7/2025).

Kehidupan Gaza yang berubah

Sebelum perang pecah pada 7 Oktober 2023, makanan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari warga Gaza.

Sarapan zaatar dan minyak zaitun, makan siang maqlooba dan musakhan, hingga makan malam dengan nasi, daging empuk, serta salad segar dari kebun menjadi pemandangan lazim.

Abu Rizq mengenang masa-masa itu dengan pilu. Hidangan rumahan yang dulu ditata indah di ruang makan kini hanya tinggal kenangan.

“Sekarang, kami membeli gula dan garam per gram,” ujarnya sambil menunjuk kios pasar yang kosong.

“Tomat dan mentimun hanya bisa kami impikan. Gaza kini lebih mahal dari ibu kota dunia, sementara kami tidak punya apa-apa,” ucapnya.

Baca juga: Wartawan di Gaza Terisolasi, Media Global Desak Perlindungan dan Akses

Hampir dua tahun sejak konflik dimulai, pasokan makanan di Gaza kian menipis. Wilayah yang terkepung itu sepenuhnya bergantung pada otorisasi Israel untuk mengizinkan masuknya barang, mulai dari tepung hingga gas.

Sejak 2 Maret lalu, jumlah barang kebutuhan pokok yang masuk kian menurun drastis. Bahkan, Israel menutup sepenuhnya akses makanan dari Maret hingga Mei. Hingga kini, pengiriman bantuan masih sangat terbatas, memicu kecaman internasional.

Anak-anak jadi korban terbesar

Data Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, hingga Kamis (31/7/2025), sedikitnya 159 warga Palestina meninggal akibat kekurangan gizi dan dehidrasi, termasuk 90 anak-anak dan bayi.

Program Pangan Dunia (WFP) menyebutkan, Gaza kini berada di ambang “kelaparan besar-besaran”. Sementara UNICEF melaporkan, satu dari tiga anak di bawah lima tahun di Gaza utara menderita kekurangan gizi akut.

Fidaa Hassan, seorang mantan perawat dan ibu tiga anak dari Kamp Pengungsi Jabalia, menyaksikan langsung gejala malnutrisi pada anak-anaknya sendiri.

“Saya mempelajari gejalanya. Sekarang saya melihatnya di anak-anak saya,” katanya dari tempat penampungan keluarganya di Gaza barat.

Anak bungsunya, Hassan, yang baru berusia dua tahun, kerap terbangun dengan tangis karena lapar. Ia selalu meminta roti yang tak bisa mereka berikan.

“Sebelum perang, setiap ulang tahun anak-anak saya kami rayakan dengan pesta. Tapi untuk Hassan, ulang tahun keduanya beberapa bulan lalu, saya bahkan tak bisa memberinya makanan yang layak,” ujarnya.

Firas, putra sulungnya yang berusia 10 tahun, juga menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi parah.

Dulu, kata Fidaa, waktu makan menjadi momen yang dinanti.

Baca juga: Israel Umumkan Jeda Perang di Gaza mulai Pukul 10.00-20.00 Setiap Hari

 

“Kami biasa makan tiga sampai empat kali sehari. Makan siang adalah waktu berkumpul. Malam musim dingin dipenuhi aroma sup miju-miju. Sore musim semi kami isi dengan membuat dolma dari daun anggur,” kenangnya.

“Sekarang kami tidur dalam keadaan lapar. Tidak ada tepung, tidak ada roti, tidak ada yang bisa kami makan. Satu kilogram tepung harganya 150 shekel (sekitar Rp 660.000). Kami tak sanggup membelinya,” tambahnya sambil menggendong Hassan yang tubuhnya tampak lemah.

Peringatan dunia internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berulang kali memperingatkan bahwa pengepungan dan pembatasan bantuan kemanusiaan oleh Israel memicu kelaparan yang disebabkan oleh manusia.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), hanya sebagian kecil dari 600 truk bantuan yang dibutuhkan setiap hari yang berhasil masuk ke Gaza.

Sistem Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) menempatkan wilayah Gaza utara dalam Fase 5, yaitu bencana atau kelaparan.

Di tengah ketidakamanan, bantuan yang masuk pun kerap dirampas kelompok bersenjata atau dijarah, membuat warga yang paling membutuhkan semakin sulit mengaksesnya.

Baca juga: Sepertiga Warga Gaza Tak Makan Selama Berhari-hari

Lebih mengerikan lagi, ratusan warga yang mencoba mengakses bantuan kemanusiaan dilaporkan tewas ditembak tentara Israel sejak Mei. Bantuan tersebut dikirim oleh organisasi GHF dengan dukungan dari Amerika Serikat dan Israel.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau