Pada Juni lalu, badan lingkungan Thailand menguji air di Chiang Mai dan Chiang Rai, wilayah yang berbatasan dengan negara bagian Shan di Myanmar, dan menemukan kadar arsenik hampir lima kali di atas standar internasional air minum.
Sebuah laporan di Myanmar mencatat jumlah tambang logam tanah jarang di satu negara bagian melonjak hampir tiga kali lipat menjadi sekitar 370 sejak kudeta militer 2021.
Hal ini mendorong pejabat dan anggota parlemen Thailand menekan China agar membatasi dampak lingkungannya. Kedutaan China di Bangkok pun menegaskan bahwa semua perusahaan “mematuhi hukum negara tuan rumah dan selalu beroperasi secara sah.”
Namun, Pianporn Deetes, Direktur Kampanye di NGO International Rivers, mengingatkan bahwa risiko polusi justru akan makin besar dengan rencana pembangunan bendungan Pak Beng di Laos yang didanai China. Bendungan ini dikhawatirkan bisa menjebak dan mengakumulasi sedimen tercemar di waduknya.
Di tengah kritik itu, China juga tercatat sebagai investor terbesar energi terbarukan di kawasan.
Zero Carbon Analytics melaporkan, dalam 10 tahun terakhir China sudah menanamkan lebih dari 2,7 miliar dollar AS (Rp 43,89 triliun) untuk proyek energi bersih di Asia Tenggara, terutama lewat inisiatif Belt and Road.
Namun, ekspansi ke sektor padat polusi juga terus berjalan.
Artikel Nikkei Asia menyebut, banyak industri berat yang mencemari kini hengkang dari China dan pindah ke negara-negara Asia Tenggara yang lebih kecil, termasuk di antaranya industri kertas bekas, besi, dan baja.
“Sejak 2017, produsen baja China mulai melirik Asia Tenggara karena regulasi lingkungan di dalam negeri makin ketat serta kelebihan kapasitas,” tulis laporan itu.
Selain itu, menghindari tarif AS juga jadi motivasi relokasi industri.
“Pabrik-pabrik ini memang menciptakan lapangan kerja dan kaitan dengan ekosistem industri lebih luas. Namun, sebagian besar pekerjaannya bergaji rendah dan berisiko bagi kesehatan,” kata Guanie Lim dari Japan's National Graduate Institute for Policy Studies.
Fengshi Wu, profesor di University of New South Wales, menambahkan bahwa negara-negara seperti Indonesia menerapkan “nasionalisme sumber daya” lewat larangan ekspor, agar mineral diproses di dalam negeri. Tujuannya jelas: mendapat nilai tambah lebih besar, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah.
Baca juga: Ledakan Tambang Batu Bara di Iran Tewaskan 51 Pekerja dan Lukai 20 Orang
“Indonesia ingin lebih banyak mineral diproses di dalam negeri. Namun ini juga berarti lebih banyak polusi, kecuali ada pengendalian lingkungan yang benar-benar efektif,” ujarnya.
Pada akhirnya, persoalan ini tetap bermuara pada hukum pasar.
“China punya perusahaan-perusahaan dengan pengalaman dan kemampuan tinggi, tapi bergerak di sektor yang paling mencemari lingkungan,” jelas Juliet Lu, profesor di University of British Columbia, Kanada, kepada DW.