Menurut rencana, Kementerian Pertambangan dan Energi harus memasang kabel sepanjang sekitar dua kilometer. Pekerjaan dijadwalkan dimulai pada Maret 2025, tetapi belum dikerjakan.
BBC News Mundo telah mencoba menghubungi Kementerian Pertambangan dan Energi, tapi tidak mendapat tanggapan.
Rumah mungil Rosa tidak punya stopkontak. Saban hari, dia berjalan-jalan di desa, berharap ada yang bisa menyediakan listrik untuk mengisi daya untuk ponselnya.
"Ini penting," ujarnya seraya menjelaskan bahwa dia membutuhkan perangkat itu untuk tetap berhubungan dengan keluarganya di dekat perbatasan Bolivia.
Salah satu dari sedikit orang yang bisa membantu adalah Ruben Pongo. Di rumahnya yang besar—dengan teras dan beberapa ruangan—sekelompok ayam betina berebut ruang di atas di antara panel surya.
"Perusahaan menyumbangkan panel surya kepada sebagian besar penduduk desa," paparnya.
"Tapi saya harus membeli baterai, konverter, kabel sendiri, dan membayar biaya pemasangan," imbuhnya.
Ruben memiliki sesuatu yang hanya diimpikan orang lain: kulkas. Tapi kulkas itu hanya menyala hingga 10 jam sehari dan pernah tidak menyala sama sekali ketika hari sedang mendung.
Dia membantu membangun kompleks panel surya Rubi dan bekerja di bagian pemeliharaan dan membersihkan panel.
Sekarang, dia mengelola gudang dan selalu diantar ke tempat kerja oleh perusahaan, meskipun pabriknya berada tepat di seberang jalan.
Sebab, menyeberangi Jalan Raya Pan-Amerika dengan berjalan kaki dilarang oleh hukum Peru.
Dari atap rumahnya, Ruben menunjuk ke sekelompok bangunan bercahaya di kejauhan.
"Itu gardu induk pabrik," cetusnya.
"Kelihatan seperti kota kecil yang diterangi cahaya," lanjutnya.
Baca juga: Arkeolog Temukan 14 Kerangka di Peru, Diduga Hasil Ritual Pengorbanan
Penduduk Pampa Clemesi mulai menetap di sana pada awal tahun 2000-an.
Di antara mereka ada Pedro Chara, yang kini berusia 70 tahun. Ia menyaksikan kompleks Rubi yang berkapasitas 500.000 panel surya berdiri nyaris di depan pintu rumahnya.
Sebagian besar desa dibangun dari material sisa pabrik. Pedro mengatakan bahkan tempat tidur mereka terbuat dari kayu bekas.
Tidak ada jaringan air, tidak ada pembuangan limbah, tak ada layanan pengangkutan sampah.
Desa ini dulunya berpenduduk 500 orang, tapi karena infrastruktur yang terbatas, sebagian besar penduduknya memutuskan pergi, terutama saat pandemi Covid-19.
"Terkadang, setelah menunggu begitu lama berjuang untuk mendapatkan air dan listrik, rasanya seperti ingin mati. Ya begitulah. Kami sekarat," ketusnya.
Rosa bergegas ke rumah bibinya, berharap bisa menikmati cahaya terakhir. Malam ini, dia memasak makan malam untuk sekelompok kecil tetangga yang berbagi makanan.