JAKARTA, KOMPAS.com - Sektor properti Indonesia tengah berada di titik transisi fundamental.
Jika selama beberapa dekade pasar didominasi oleh gedung perkantoran mewah, kini investasi dan permintaan pasar berbalik arah menuju sektor yang lebih spesifik dan berorientasi teknologi: logistik, pusat data, dan hunian sewa skala besar (living).
Perubahan dramatis ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan penyesuaian struktural pasar yang didorong oleh dua kekuatan utama, yakni kelebihan pasokan kronis di sektor tradisional dan ledakan permintaan dari ekonomi digital dan diversifikasi rantai pasok global.
Data JLL menunjukkan adanya tantangan besar di pasar perkantoran Indonesia, dengan total pasokan mencapai 10 juta meter persegi.
Baca juga: Jurus Diplomasi Menteri Dody: Merajut Konektivitas, Menekan Biaya Logistik
Angka ini mencakup 3 juta meter persegi ruang yang tersedia, menjadikannya pasar tenant-driven atau dikuasai penyewa.
Meskipun gedung-gedung premium masih mampu mendorong kenaikan tarif sewa yang diproyeksikan tumbuh 10 persen dalam lima tahun ke depan, nasib perkantoran Grade B atau yang kinerjanya kurang optimal, bakal terancam.
JLL menyarankan pemilik aset yang berkinerja rendah untuk mempertimbangkan strategi optimalisasi aset yang radikal retrofitting, peningkatan sertifikasi bangunan hijau, atau bahkan perubahan fungsi bangunan (konversi).
Transformasi ikonik global seperti Empire State Building menjadi ramah lingkungan menjadi studi kasus yang harus ditiru agar gedung-gedung surplus Jakarta tidak menjadi "fosil" properti.
Fokus investasi pun kini bergeser tajam ke sektor yang disebut JLL sebagai "alternatif" atau aset-kelas baru, di mana Indonesia menawarkan potensi pertumbuhan tertinggi di Asia Tenggara.
Sektor logistik dan industri menjadi primadona dengan tingkat hunian gudang modern di Jabodetabek mencapai 94 persen, jauh di atas rata-rata Asia Pasifik sebesa 86 persen.
Baca juga: Pungli Bikin Biaya Logistik Mahal, Truk Setor Rp 150 Juta Per Tahun
Pasokan gudang telah meningkat tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.
Permintaan logistik baru diproyeksikan mendekati 1 juta meter persegi dalam tiga tahun ke depan, di mana sekitar setengahnya berasal dari perusahaan China.
Managing Director, JLL Asia Tenggara, Michael Glancy, menuturkan, lonjakan permintaan dari China adalah tren signifikan yang mencerminkan strategi diversifikasi rantai pasokan.
"Indonesia, dengan sektor industri dan logistiknya yang kuat, semakin memantapkan diri sebagai tujuan utamadalam jaringan manufaktur dan distribusi global yang baru. Permintaan pabrik pun bergeser dari fasilitas purpose built ke solusi sewa siap pakai (plug-and-play)," tutur Michael, Kamis (30/10/2025).
Baca juga: Bukan Hanya Jakarta dan Batam, Indonesia Timur Kunci Peta Jalan Pusat Data Nasional
Selain logistik, pergeseran juga didorong oleh teknologi Kecerdasan Buatan (AI) dan posisi Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, kapasitas pusat data kolokasi telah meningkat tiga kali lipat sejak 2021.