KOMPAS.com - Apa yang terjadi jika potongan DNA dari manusia purba yang telah punah disuntikkan ke dalam makhluk hidup zaman sekarang. Itulah yang baru saja dilakukan sekelompok ilmuwan di Jepang. Mereka mengambil bagian kecil dari DNA Neanderthal—kerabat dekat manusia modern yang hidup puluhan ribu tahun lalu—dan menyuntikkannya ke dalam tikus laboratorium. Hasilnya? Sangat mengejutkan.
Dalam penelitian yang dipimpin oleh Dr. Ako Agata dan Dr. Tadashi Nomura dari Universitas Kedokteran Prefektur Kyoto, para ilmuwan menyisipkan gen Neanderthal berusia 40.000 tahun ke dalam tikus menggunakan teknologi penyuntingan gen modern bernama CRISPR.
Gen yang mereka pilih bernama GLI3, sebuah gen penting yang berperan dalam pembentukan tulang. Versi kuno dari gen ini ditemukan dalam sisa DNA Neanderthal yang dikumpulkan dari fosil manusia purba. Tujuan utamanya: melihat apakah gen kuno ini bisa memengaruhi bentuk tubuh hewan modern.
Baca juga: Ilmuwan Ciptakan Tikus Berbulu, Upaya Menghidupkan Kembali Mammoth?
Hasilnya cukup dramatis. Tikus yang telah dimodifikasi genetiknya menunjukkan perubahan pada kerangka mereka. Beberapa memiliki tengkorak yang lebih lebar, jumlah tulang belakang yang berbeda, atau bentuk tulang rusuk yang tidak biasa. Ini bukan kebetulan, melainkan tanda bahwa gen purba itu benar-benar memengaruhi bagaimana tubuh mereka berkembang.
Lebih menarik lagi, perubahan ini terjadi tanpa menyebabkan cacat lahir serius. Sistem penting dalam perkembangan tubuh tikus, yang disebut jalur Hedgehog, tetap berjalan normal. Dengan kata lain, versi Neanderthal dari gen GLI3 berhasil "mengutak-atik" bentuk tubuh tikus dengan halus—tanpa merusak fungsinya.
Baca juga: Neanderthal: Siapa Mereka dan Seperti Apa Rupa Kerabat Manusia Ini?
Namun, tidak semua tikus menunjukkan efek yang sama. Perubahan pada tulang tikus ternyata berbeda-beda tergantung dari latar belakang genetik masing-masing. Ada yang memiliki tulang rusuk tambahan di bagian belakang, ada juga yang bentuk tulang rusuknya mirip skoliosis. Sebagian tikus bahkan mengalami penyatuan lebih cepat pada pelat tengkorak, membuat kepala mereka tumbuh lebih besar.
Meski begitu, para peneliti mencatat bahwa tidak satu pun dari tikus-tikus ini mengalami polidaktili (jari lebih dari lima), kondisi yang biasanya muncul jika gen GLI3 terganggu. Ini menunjukkan bahwa versi Neanderthal dari gen ini cukup “cerdas”—ia tetap menjalankan tugas dasarnya, sambil mengubah detail kecil dari bentuk tubuh.
Baca juga: Hari-hari Terakhir Neanderthal: Misteri Kepunahan Kerabat Terdekat Manusia
Yang mengejutkan, varian gen GLI3 versi Neanderthal yang dinamakan R1537C ini masih bisa ditemukan pada sebagian kecil manusia modern, khususnya mereka yang berasal dari luar Afrika. Sekitar 3,7% hingga 7,7% orang membawa versi kuno ini, meski mereka tidak menyadarinya.
Dalam uji laboratorium menggunakan sel manusia, gen purba ini juga menunjukkan kemampuan mengubah aktivitas gen lain yang mengatur pertumbuhan tulang. Artinya, meski berasal dari masa lalu yang jauh, warisan Neanderthal ini mungkin masih ikut membentuk tubuh kita hingga hari ini—walau pengaruhnya sangat halus.
Baca juga: Mengapa Wajah Manusia Modern Lebih Kecil Dibandingkan Neanderthal?
Selama ini, ilmuwan mencoba memahami bentuk tubuh manusia purba lewat fosil dan peta genetik. Tapi dari fosil saja, kita tidak bisa tahu bagaimana gen tertentu bekerja saat seseorang masih hidup dan berkembang. Di sinilah peran tikus—sebagai makhluk hidup modern—membantu kita mengintip ke masa lalu.
“Perubahan kecil pada protein ini berkontribusi pada variasi bentuk tubuh spesies,” tulis para peneliti dalam publikasi mereka. Dengan kata lain, satu perubahan kecil di dalam gen bisa berdampak nyata pada bentuk tubuh suatu makhluk hidup.
Baca juga: Apa Saja Perbedaan Homo sapiens dengan Neanderthal?
Para peneliti belum bisa memastikan apakah varian gen ini memberikan keuntungan bagi Neanderthal atau manusia purba lainnya. Ada sedikit petunjuk dari data biobank yang menunjukkan bahwa gen ini mungkin berhubungan dengan bentuk tulang belakang, tapi jumlah datanya masih terlalu sedikit untuk disimpulkan secara pasti.
Yang jelas, eksperimen ini menunjukkan bahwa warisan dari manusia purba masih hidup bersama kita—secara harfiah, di dalam gen kita. Dan lewat bantuan tikus, kita bisa lebih memahami bagaimana sedikit perubahan genetik bisa membuat perbedaan besar dalam bentuk tubuh manusia selama evolusi.
Penelitian ini menjadi langkah penting untuk menjembatani masa lalu dan masa kini—menggunakan ilmu modern untuk memahami asal-usul kita yang penuh misteri.
Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Frontiers in Cell and Developmental Biology.
Baca juga: Tikus Mendengarkan Suara Kumisnya untuk Bertahan Hidup
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.