SETIAP Idul Adha, aroma daging kurban membumbung di langit-langit kota dan desa. Di balik riuh takbir dan penyembelihan hewan kurban, tersimpan makna yang kerap luput dari tafsir kritis: apakah kurban hari ini masih menyuarakan kemanusiaan, atau justru terjebak dalam seremoni tanpa jiwa?
Secara teologis, kurban sejatinya merupakan simbol puncak pengabdian dan keikhlasan. Namun, jika kita tarik lebih jauh, pesan tersembunyi dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan hanya soal ketaatan pada Allah SWT, melainkan tentang pengorbanan ego demi yang lebih besar—yakni kemaslahatan umat.
Di sinilah letak simpulnya: kurban mestinya menjadi refleksi atas hakikat hak asasi manusia—pengakuan terhadap martabat, kebebasan, dan solidaritas sebagai nilai-nilai universal.
Namun, dalam praktiknya, kurban kerap direduksi menjadi sekadar kewajiban formal yang dijalankan tanpa kedalaman refleksi. Penyembelihan hewan dilakukan rutin, tetapi makna sosialnya semakin kabur.
Hal ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jürgen Habermas sebagai kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem—yang mana tindakan yang semula sarat makna moral dan spiritual menjadi bagian dari sistem ritual yang kehilangan ruh komunikatifnya.
Baca juga: Kurban dan Hakikat Politik
Ibadah pun, jika tidak disertai kesadaran etis, bisa menjelma menjadi kebiasaan mekanistik—dan ini problematis.
Dalam perspektif hak asasi manusia, kurban mestinya dipahami tidak hanya sebagai ibadah personal, tetapi juga sebagai ekspresi tanggung jawab sosial.
Deklarasi Universal HAM (1948) secara eksplisit menyebutkan pentingnya solidaritas, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Kurban seharusnya mengarah ke sana: memperjuangkan distribusi yang adil, menyentuh kelompok paling rentan, dan menjadikan momen Idul Adha sebagai peneguhan atas nilai keadilan sosial.
Ketika kurban hanya dinikmati oleh komunitas eksklusif dan tidak menjangkau mereka yang terpinggirkan, maka semangat universal HAM tercederai.
Tak hanya itu, diskursus etika global kini mendorong kita untuk memperluas cakrawala keadilan hingga mencakup makhluk non-manusia.
Teori capabilities ala Nussbaum, misalnya, menekankan bahwa keadilan tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bagi makhluk hidup lain yang memiliki kapasitas untuk merasakan sakit, menderita, dan berkembang.
Dalam terang ini, praktik kurban harus dipahami secara lebih etis—yakni dengan menjunjung tinggi prinsip animal welfare dalam setiap tahap, mulai dari pemeliharaan, transportasi, hingga penyembelihan. Islam pun sudah mengatur hal ini.
Dalam kerangka hukum, kita dapat melihat bahwa kurban berada di persimpangan antara kebebasan beragama (yang dijamin sebagai non-derogable right) dan prinsip reasonableness dalam pembatasan hak.
Dalam masyarakat plural, kebebasan beragama harus dijalankan dengan sensitivitas terhadap nilai-nilai etis dan hukum positif, tanpa mencederai semangat koeksistensi.
Maka, pelaksanaan kurban yang tidak memperhatikan dampak sosial—seperti limbah, kebisingan, atau distribusi yang tidak adil—berpotensi melanggar hak-hak warga lain untuk hidup dalam lingkungan yang bersih, sehat, dan adil.
Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong: Save Raja Ampat!
Pun, yang perlu kita renungkan bukan hanya “berapa banyak hewan yang disembelih,” tetapi “untuk siapa pengorbanan ini bermakna”.
Sebab sejatinya, kurban adalah cerminan dari kemampuan manusia untuk menundukkan ego demi nilai yang lebih besar—nilai yang juga menjadi dasar kelahiran konsep hak asasi manusia: kesetaraan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Jika ibadah kurban tidak mampu menumbuhkan kesadaran kolektif tentang penderitaan dan ketimpangan, maka kita patut bertanya ulang, siapa yang sesungguhnya sedang dikorbankan?
Dalam hal ini, kita perlu mendorong reinterpretasi kurban yang lebih emansipatoris. Kurban bukan hanya soal darah dan daging, melainkan juga soal memperjuangkan keberpihakan kepada mereka yang selama ini terpinggirkan dari akses ekonomi dan sosial.
Ini adalah bentuk konkret dari positive obligations negara dan masyarakat dalam kerangka HAM: bahwa kita tidak cukup hanya tidak melanggar, tetapi juga harus aktif menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang lain.
Dengan begitu, kurban tidak lagi dimaknai sebatas ritual tahunan, melainkan momentum strategis untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong, redistribusi, dan keadilan substantif.
Kurban pun sejatinya menjadi momen penting untuk merefleksikan relasi kuasa dalam masyarakat. Siapa yang memiliki akses untuk berkurban? Siapa yang memonopoli panggungnya? Pun, siapa yang bahkan tak tercatat sebagai penerima manfaatnya?
Baca juga: Ibadah Haji dan Permainan Kotor Global
Dalam lensa filsafat politik kontemporer, khususnya melalui teori keadilan distributif ala Rawls, keadilan sejati terwujud ketika mereka yang berada di posisi paling tidak beruntung mendapat perhatian utama dari kebijakan atau tindakan sosial.
Kurban bisa—dan seharusnya—diarahkan ke sana: berpihak secara nyata, bukan sekadar simbolik.
Jika menelaah secara kritis, kurban akan kehilangan maknanya jika tidak mampu menjelma menjadi aksi kemanusiaan. Idul Adha bukan sekadar perayaan pengorbanan, melainkan peneguhan atas nilai-nilai yang mendasari hidup bersama.
Ketika ego ditanggalkan, ketika kelebihan dibagikan, ketika keberagamaan dipraktikkan dengan kesadaran etis, maka di sanalah hakikat hak asasi manusia menemukan ruang hidupnya—dalam sunyi sembelih yang membebaskan, bukan menindas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya