Dalam beberapa kasus ekstrem, keheningan dari pihak yang berwenang atau memiliki platform besar bisa dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian oleh publik.
Misalnya, jika seorang figur publik yang punya pengaruh besar diam seribu bahasa saat ada krisis kemanusiaan besar, publik bisa menganggapnya tidak peduli.
Namun, menurut Danti, hal tersebut juga masih berbeda dengan istilah tone deaf.
“Tone deaf adalah kesalahan aktif dalam berbicara, sementara diam adalah ketiadaan tindakan berbicara,” kata Danti.
Baca juga: Viral Narasi Cewek Bisa Segalanya, Tapi Tidak Bisa Cari Cowok Bener, Ini Kata Psikolog
Tone deaf seringkali muncul saat menanggapi isu-isu yang membutuhkan empati dan pemahaman mendalam.
Danti pun memberikan contoh kasus mengenai tone deaf.
"Misalnya, terdapat gerakan sosial yang menuntut kesetaraan dan keadilan bagi kelompok minoritas yang sering mengalami diskriminasi," kata Danti.
Lalu, seorang tokoh publik mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama, yang diperlukan hanyalah kerja keras.
Danti mengatakan bahwa hal tersebut merupakan contoh sikap dan pernyataan yang tone deaf. Karena tokoh publik gagal mengakui adanya ketidaksetaraan sistemik dan hambatan struktural dalam kelompok minoritas.
"Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang isu yang kompleks dan mendalam, seolah-olah masalah bisa diselesaikan dengan nasihat sederhana yang tidak relevan," jelasnya.
Singkatnya, tone deaf adalah kegagalan untuk "membaca" situasi dan bereaksi dengan cara yang peka serta empatik.
"Perilaku ini selalu melibatkan ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan atau dilakukan dengan konteks emosional, sosial, atau politik yang sedang terjadi," pungkas Danti.
Baca juga: Mengapa Ada Masyarakat yang Percaya Teori Konspirasi? Ini Penjelasan Psikolog
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini