Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan September Hitam Indonesia: Tragedi 1965, Kematian Munir, hingga 17+8 Tuntutan Rakyat

Kompas.com - 05/09/2025, 08:30 WIB
Alicia Diahwahyuningtyas,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

Namun, aspirasi rakyat justru dihadapi dengan represivitas aparat.

Berdasarkan catatan LBH Jakarta, polisi menangkap sedikitnya 1.489 orang sepanjang aksi, dan 380 di antaranya ditetapkan tersangka.

Video yang beredar memperlihatkan aparat memukul, menendang, bahkan menggunakan benda tajam terhadap demonstran. Peristiwa ini mempertegas buruknya respons negara terhadap kritik publik.

7. Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020)

Kematian Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, menambah panjang daftar kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.

Pemimpin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) ini ditemukan tewas dengan luka tusuk dan tembakan, diduga dilakukan oleh anggota TNI dari Koramil Persiapan Hitadipa.

Menurut laporan Komnas HAM (2 November 2020), kasus ini berkaitan dengan serangkaian peristiwa sejak 17 September, ketika seorang anggota TNI ditembak kelompok bersenjata dan senjatanya dirampas.

Upaya pencarian senjata memicu intimidasi warga, bahkan nama Yeremia disebut sebagai musuh oleh aparat.

Pada 19 September, situasi memanas setelah seorang prajurit kembali ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Tim TNI kemudian melakukan penyisiran, dan sejumlah saksi, termasuk istri korban, menyebut Wakil Komandan Koramil Hitadipa, Alpius, sebagai pelaku penembakan.

Investigasi Komnas HAM di lokasi kejadian menemukan luka tembak di lengan kiri dan leher Yeremia, menandakan adanya kontak fisik dekat antara korban dan pelaku.

Kejadian rekonstruksi menunjukkan bahwa Pendeta Yeremia ditembak dari jarak kurang dari satu meter, dan ia ditemukan oleh istrinya dalam keadaan terluka sekitar pukul 17.50.

Yeremia sempat hidup beberapa saat, menceritakan kejadian yang menimpanya sebelum meninggal akibat kehabisan darah.

Komnas HAM menyimpulkan kematian ini sebagai eksekusi di luar hukum (extra judicial killing). Namun, proses penyelidikan aparat berjalan lambat dan tertutup, memperlihatkan potensi impunitas, di mana kekerasan aparat tidak diadili secara tuntas.

8. Kekerasan di Pulau Rempang (7 September 2023)

Konflik agraria di Pulau Rempang mencuat ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi sekitar 7.500 warga untuk pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.

Proyek yang dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) ini ditargetkan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080. Namun, rencana tersebut ditolak masyarakat adat.

Menurut Gerisman Ahmad, Ketua Keramat (Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan), terdapat 16 kampung tua yang sudah dihuni Suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat sejak 1834.

Ia menilai proyek bisa berjalan tanpa menggusur masyarakat adat, karena lahan yang mereka tempati hanya sekitar 10 persen dari total luas pulau.

Konflik memuncak pada 7 September 2023 di Jembatan Barelang IV, ketika warga mengadang aparat yang hendak mematok lahan.

Sekitar 1.010 aparat gabungan TNI-Polri, Satpol PP, dan BP Batam dikerahkan. Bentrokan pecah setelah aparat merangsek ke arah warga, yang membalas dengan lemparan.

Polisi kemudian menembakkan gas air mata dan meriam air, bahkan mengenai SDN 24 Galang dan SMPN 22 Galang.

Akibat bentrokan, enam warga ditangkap dan puluhan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban.

9. Reset Indonesia: 17+8 Tuntutan Rakyat (September 2025)

Gelombang demonstrasi yang terjadi pada 25–31 Agustus 2025 telah melahirkan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR.

Tuntutan ini dirangkum oleh sejumlah influencer, seperti Andovi Da Lopez, Salsa Erwin, dan Jerome Polin, dengan menghimpun aspirasi dari berbagai kanal, termasuk 211 organisasi masyarakat sipil, PSHK, Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, serta Center for Environmental Law & Climate Justice UI.

Tuntutan pertama berisi 17 poin yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, TNI, Polri, ketua umum partai politik, dan kementerian di sektor ekonomi.

Beberapa poin utama tuntutan adalah pembentukan tim investigasi independen kasus kekerasan demo 28-30 Agustus 2025, penghentian keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, reformasi DPR dan partai politik, penguatan KPK, hingga reformasi kepolisian agar lebih profesional dan humanis.

Seluruh tuntutan diberi batas waktu hingga 5 September 2025 untuk dipenuhi.

Sementara itu, delapan tuntutan jangka panjang diberikan dengan tenggang waktu untuk direalisasikan hingga 31 Agustus 2026.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau