KOMPAS.com - Sudah 21 tahun berlalu sejak kematian Munir Said Thalib, namun negara belum juga menuntaskan kasusnya.
Hal itu disuarakan oleh Suciwati, istri Munir, dalam Aksi Kamisan ke-876 bertajuk “Mengenang 21 Tahun Pembunuhan Munir: Indonesia Darurat Kekerasan dan Ketidakadilan” yang digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025).
“Peringatan ini bukan hanya sekadar mengenang, tetapi juga mengingatkan publik bahwa negara belum menuntaskan kasus tersebut,” ujar Suciwati, dikutip dari Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Ia menegaskan, meski presiden sudah berganti, tak satu pun yang benar-benar menyelesaikan misteri kematian Munir. Kepada Presiden Prabowo, Suciwati bahkan mengaku sudah tidak banyak berharap.
Seperti ratusan aksi sebelumnya, massa kompak mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka dan perlawanan. Spanduk, flyer, serta poster tuntutan kembali diangkat tinggi-tinggi.
Selain mengenang Munir, aksi itu juga menyoroti kondisi HAM terkini, termasuk kasus kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob.
Suciwati menilai, situasi HAM di Indonesia tidak kunjung membaik.
Baca juga: Kesaksian Eks Petinggi BIN: Munir Dibunuh dalam Operasi Intelijen, Ada Aliran Dana
Semasa hidupnya, Munir adalah aktivis yang lantang membela HAM. Dia juga menjadi salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (kontraS).
Namun, api perjuangannya dihentikan melalui tragedi perjalanan udara di pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta menuju ke Belanda pada 7 September 2004 silam.
Kala itu, Munir hendak terbang ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Dia dijadwalkan menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974.
Dikutip dari Kompas.com, Rabu (2022), pesawat itu sempat transit di Bandara Changi, Singapura pada 7 September 20224 sekitar pukul 00.40 WIB.
Di sana, Munir duduk di Coffee Bean sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke Amsterdam, Belanda pada 01.50 WIB.
Tiga jam setelah pesawat lepas landas, aktivis HAM itu mengalami sakit perut sehingga membuatnya harus bolak-balik ke toilet.
Kru pesawat kemudian memindahkannya dari kursi 40G ke 1J untuk mendapat perawatan.
Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Munir dinyatakan meninggal ketika pesawat masih di ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania pada 7 September 2004 pukul 08.10 WIB.
Baca juga: Catatan September Hitam Indonesia: Tragedi 1965, Kematian Munir, hingga 17+8 Tuntutan Rakyat
Kematian Munir terbilang mengejutkan lantaran pria itu pergi ke Belanda dalam keadaan sehat.
Oleh sebab itu, ketika pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004 pukul 10.00 waktu setempat, pihak bandara melakukan pemeriksaan penuh bersama dengan petugas polisi militer.
Seluruh penumpang yang ada di dalam pesawat dilarang turun sampai pemeriksaan selesai.
Pemerintah Belanda juga sempat mengotopsi jenazah Munir sebelum dibawa ke Indonesia pada 12 September 2004 untuk dimakamkan.
Hasil temuan Institut Forensik Belanda (NFI) menunjukkan adanya racun arsenik dengan dosis yang mematikan di dalam tubuh Munir.
Hal ini menguatkan kecurigaan bahwa Munir dibunuh.
Suciwati kemudian meminta otopsi ulang jenazah suaminya ke Mabes Polri. Namun, permintaan tersebut ditolak.
Harapan datang dari presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berjanji akan mengusut lebih lanjut kasus kematian Munir.
Penyidikan berlangsung, Mabes Polri memanggil dan memeriksa delapan kru pesawat Garuda Indonesia yang terbang bersama dengan Munir.
Penyidikan dilakukan usai banyaknya desakan dari LSM agar pemerintah segera melakukan investigasi.
SBY juga mengesahkan Tim Pencarian Fakta (TPF) kematian Munir pada 23 Desember 2004.
Baca juga: Kronologi Pembunuhan Aktivis Munir yang Diusut Kembali oleh Komnas HAM
Dalam melakukan tugasnya, TPF menilai bahwa Mabes Polri terlalu lamban dalam mengusut kematian Munir.
TFP juga menyampaikan bahwa pihak Garuda Indonesia terkesan menutup-nutupi kasus tersebut.
Tim bentukan SBY itu menduga, ada oknum dari pihak maskapai yang memalsukan surat penugasan pilot Garuda Indonesia bernama Pollycarpus Budihari Priyanto yang terbang bersama Munir menuju Amsterdam.
TPF menduga ada indikasi kejahatan konspiratif dalam kasus pembunuhan Munir karena ada kecurigaan keterlibatan oknum PT Garuda Indonesia dan pejabat direksi Garuda.
Pollycarpus kemudian dipanggil Mabes Polri untuk bersaksi. Dalam pemeriksaan, TPF menemukan fakta baru bahwa ada 6 calon tersangka di mana 4 di antaranya berasal dari Garuda Indonesia.
Tak hanya itu, TPF juga mencium adanya keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN).
BIN diduga memberikan instruksi ke Pollycarpus untuk menghabisi Munir.
Pollycarpus akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijatuhi vonis 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005, setahun setelah meninggalnya Munir.
Selain Pollycarpus, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan juga divonis satu tahun penjara karena dianggap menempatkan Pollycarpus sebagai extra crew di jadwal penerbangan Munir.
Meski dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka, tokoh-tokoh BIN yang diduga terlibat kematian Munir, bebas dari tuntutan.
Hal ini membuat pengusutan kasus kematian Munir tidak benar-benar tuntas.
Di masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), dia juga berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. Namun, hingga akhir masa jabatannya selama dua periode, kasus tersebut belum juga menemui titik terang.
Baca juga: Tanda Keracunan Arsenik yang Membunuh Munir di Udara 20 Tahun Lalu
Penyelidikan kasus kematian Munir masih berlanjut hingga saat ini di bawah tim ad hoc penyelidikan Komnas HAM.
Kali ini, penyelidikan dilakukan untuk menggolongkan apakah kasus kematian Munir termasuk kasus pelanggaran HAM berat atau bukan.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan, pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi yang terlibat.
Para saksi berasal dari kalangan pembela HAM, pihak maskapai Garuda, dan beberapa penyidik kasus pidana pembunuhan Munir.
"Tentang kasus Munir, proses penyelidikan sudah berjalan dan sejauh ini kami sudah memeriksa sejumlah saksi," ujar Anis, dikutip dari Kompas.com (3/7/2025).
Nantinya, Komnas HAM akan merilis laporan kasus Munir ke dalam pelanggaran HAM berat atau bukan.
Komnas HAM juga telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
(Sumber: Kompas.com/ Lidia Pratama Febrian, Singgih Wiryono, Tri Indriawati | Editor: Abdul Haris Maulana, Jessi Carina, Tri Indriawati)
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini