
PERJALANAN ibadah ke Tanah Suci selalu dikelilingi aura sakral, spiritual, dan penuh makna. Namun, seiring percepatan teknologi digital, ritual ini sedang mengalami pergeseran yang diam-diam, tapi signifikan.
Fenomena umrah mandiri—di mana jamaah mengatur sendiri perjalanan mereka melalui platform daring tanpa melalui biro perjalanan resmi—telah menjadi simbol baru dari disrupsi keagamaan di era digital.
Perubahan ini bukan hanya soal cara berangkat ke Mekah, tetapi juga menggambarkan benturan antara spiritualitas dan kapitalisme digital, antara kesalehan dan logika pasar, antara ibadah dan industri.
Transisi kepemimpinan dari Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud menuju Putra Mahkota Kerajaan Pangeran Muhammad bin Salman menjadi tonggak sejarah lahirnya Visi Saudi 2030.
Ia memahami betul bahwa sumber daya alam akan habis, penyesuaian pemasukan dan pendapatan negara perlu digaungkan.
Baca juga: Membaca Emosi Sandra Dewi dalam Kasus Harvey Moeis
Dengan misi diversifikasi ekonomi, modernisasi sosial, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, mengundang tamu, terutama Muslim untuk “menginvestasikan uangnya” berpariwisata di Arab Saudi.
Salah satunya adalah kemudahan akses untuk beribadah Umrah, terlebih dengan skema mandiri.
Dalam liberalisasi Umrah memberi gambaran bahwa perubahan yang terjadi sangatlah komprehensif: dari prosedur visa, digitalisasi, infrastruktur, hingga integrasi dengan ekonomi global.
Strategi ini bisa dilihat sebagai transformasi ibadah yang lebih inklusif dan modern — tapi sekaligus sebagai transformasi komersial.
Bagi umat dan pelaku industri umrah di luar Arab Saudi (termasuk di Indonesia), ini adalah sinyal penting: akses semakin terbuka, layanan semakin kompetitif, dan logika komersial semakin dominan.
Maka, penting bagi jamaah untuk tidak hanya fokus pada “berangkat”, tetapi juga memahami konteks baru ini — yaitu bahwa berkunjung ke Tanah Suci kini berlangsung di bawah rezim digital dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Bagi sebagian orang, umrah mandiri adalah terobosan positif. Dengan aplikasi pemesanan tiket, hotel, dan transportasi internasional yang semakin mudah diakses, jamaah kini bisa mengatur keberangkatan sendiri dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding melalui agen perjalanan.
Sebelumnya, biaya umrah sering kali dipatok tinggi karena biro perjalanan memonopoli akses, menambah margin keuntungan, bahkan kadang tersandung masalah legalitas, akreditasi dan transparansi.
Kini, jamaah hanya perlu paspor, visa elektronik, dan gawai yang terhubung internet untuk bisa berangkat. Arab Saudi mendukung tren ini lewat kebijakan visa umrah elektronik yang lebih fleksibel.
Di titik ini, umrah mandiri menghadirkan demokratisasi dan inklusivitas dalam beribadah. Setiap Muslim yang memiliki kemampuan finansial dan literasi digital bisa menunaikan ibadah tanpa bergantung pada perantara komersial.