YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Alunan musik instrumental "Bengawan Solo" ciptaan Gesang Martohartono tak lagi terdengar di Stasiun Solo Balapan.
Suasana di area stasiun, terasa berbeda dari biasanya: hanya terdengar informasi kedatangan dan keberangkatan kereta.
Tembang legendaris yang telah menjadi ikon penyambut kedatangan dan keberangkatan kereta api di stasiun tersebut kini dimatikan, diduga imbas dari masalah royalti.
Dalam catatan Obituari "Gesang, Keroncong Pencatat Zaman" di Kompas.com tahun 2010, ide lagu "Bengawan Solo" lahir pada September 1940 ketika Gesang duduk di tepi Bengawan Solo di Pesanggrahan Langenharjo milik Keraton Surakarta.
"Pada musim kemarau tahun 1940 saya melihat Bengawan Solo kering airnya, padahal pada musim hujan airnya berlimpah. Dua keadaan yang sangat berlainan ini memberikan kesan yang dalam sekali bila dihubungkan dengan kehidupan manusia dan alam. Dimulai dengan senandung, saya goreskan pensil pada secarik kertas bekas pembungkus rokok dan terciptalah ’Bengawan Solo’.”
Itu ucapan Gesang Martohartono yang direkam dalam album "Tribute to Gesang" terbitan GNP tahun 2007.
Baca juga: Stasiun Solo Balapan Setop Putar Lagu Bengawan Solo, Masalah Royalti?
Dalam satu wawancara dengan Kompas tahun 2002, ia mengatakan, ”Saya ini bukan pemusik yang pintar, apalagi ahli musik. Kalaupun dibilang pemusik, ya (saya), termasuk pengarang lagu yang kampungan.”
Seniman kelahiran Notodiningratan, Solo, 1 Oktober 1917 merupakan lulusan sekolah Ongko Loro Muhammadiyah (1929) di Punggawan, Solo.
Dia juga mengaku bukan orang sekolahan yang dapat didikan khusus soal musik.
Tumbuh layaknya remaja di kampungnya, Kemlayan, yang banyak dihuni seniman, anak ke-5 dari 10 bersaudara itu bergabung dengan grup keroncong Kampung Marko, singkatan dari Marsudi Agawe Rukun, Kesenian dan Olahraga.
Ia lalu bergabung sebagai penyanyi dalam sejumlah grup keroncong: Kembang Kacang, Bunga Mawar, dan Irama Sehat.
"Bengawan Solo" termasuk lagu yang ditulis dengan cara "awam".
Baca juga: Bengawan Solo, Sungai Terpanjang di Pulau Jawa yang Menjadi Inspirasi Gesang
Menurut sebuah versi, "Bengawan Solo" lahir dari rengeng-rengeng atau senandung Gesang. Kemudian, dua rekannya, Slamet Wigyosuharjo dan Sunaryo, menuliskan notasinya.
"Hanya" 44 lagu digubahnya.
Pada pemberitaan Harian Kompas 17 Juni 1997, Gesang mendapat hasil royalti Rp 1 milir dari Jepang untuk lagu "Bengawan Solo".