JAKARTA, KOMPAS.com – Bulan September dikenal di kalangan investor global dengan istilah “September Effect”, yaitu tren menurunnya kinerja pasar baik di bursa saham tradisional maupun aset kripto.
Fenomena ini tercatat dalam sejarah pasar sejak awal abad ke-20 dan sering menandai koreksi signifikan, termasuk pada 1929 dan 2008.
Sejak awal, indeks utama seperti S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) menunjukkan performa relatif loyo di bulan ini dibanding 11 bulan lainnya.
Fahmi Almuttaqin, analis Reku, mengatakan tren serupa juga terlihat pada pasar kripto.
“Bitcoin, yang terkenal volatilitasnya, juga mencatatkan return rata-rata negatif pada September sejak 2013. Namun dalam dua tahun terakhir, September memberikan return positif bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun secara historis tetap menjadi bulan terburuk bagi Bitcoin,” jelas Fahmi, melalui keterangan pers, Selasa (2/9/2025).
Baca juga: Cara Diversifikasi Investasi dengan Kripto, Lakukan 4 Hal Ini
Data Coinglass menunjukkan Bitcoin naik 7,29 persen pada September 2024 dan 3,91 persen pada September 2023.
Fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk likuiditas global yang mengetat pasca musim panas, rilis data ekonomi penting, serta keputusan suku bunga The Fed yang sering bertepatan di bulan September.
Akhir kuartal ke-3 juga menjadi momen bagi investor institusional untuk melakukan rebalancing portofolio, profit-taking, atau tax-loss selling, yang menekan pasar.
“Selain itu, ekspektasi negatif dari investor memperkuat tren ini. Banyak pelaku pasar yang percaya harga akan turun, sehingga mereka menjual aset, dan penurunan harga pun terjadi,” tambah Fahmi.
Baca juga: Platform Kripto Triv Catat Peningkatan Jumlah Investor Kripto RI
Namun, tahun 2025 menunjukkan dinamika unik. Pasar kripto, khususnya Bitcoin dan Ethereum, mendapatkan dukungan arus dana institusional melalui instrumen ETF Spot.
Suplai uang US M2 Juli yang dirilis 26 Agustus lalu juga meningkat ke angka tertinggi sepanjang masa, mendukung optimisme investor terhadap aset berisiko.
Jika The Fed menurunkan suku bunga pada pertemuan FOMC pertengahan September, potensi reli pasar semakin terbuka.
Fahmi menekankan, investor tidak bisa semata mengandalkan tren musiman.
“Strategi yang tepat ialah memantau faktor fundamental dan makroekonomi. Diversifikasi portofolio, seperti mengombinasikan ekuitas AS dan kripto, menjadi alternatif menarik. Pola musiman hanyalah salah satu indikator yang perlu dipertimbangkan,” jelasnya.
Baca juga: Harga Kripto Ethereum (ETH) Sempat Tembus Rp 80 Juta, Apa Faktor Penopangnya?
Bagi investor konservatif, aset kripto berkapitalisasi besar seperti Bitcoin, Ethereum, XRP, dan Solana menjadi pilihan yang lebih aman.
“Pasar saat ini lebih volatil, sehingga koin-koin besar cenderung lebih tahan. Investor pemula juga dapat memanfaatkan fitur Packs di Reku untuk diversifikasi secara mudah dan terkurasi,” imbuh Fahmi.
Sebagai informasi, Reku (sebelumnya Rekeningku.com) adalah platform investasi lebih dari 800 aset global, termasuk kripto, saham AS, dan derivatif kripto Futures, dengan lebih dari 1 juta pengguna.
Reku beroperasi sesuai regulasi BAPPEBTI, JFX, dan KBI, dengan misi #BijakBerinvestasi untuk meningkatkan literasi dan kepercayaan investor.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini