SELAMA menempuh studi doktoral di Taiwan dari Agustus 2019 hingga Juli 2023, saya menyaksikan langsung bagaimana dinamika hubungan China-Taiwan mengalami transformasi signifikan.
Perkembangan terbaru ini semakin mengonfirmasi tren tersebut, di mana pengerahan 70 kapal China di perairan Taiwan pada Mei 2025, menandai perubahan fundamental dalam strategi Beijing yang tidak lagi mengandalkan latihan militer berkala, tapi beralih pada tekanan berkelanjutan yang sistematis.
Bukti aktivitas kapal tanpa identitas di Selat Taiwan dan koordinasi dengan ratusan penerbangan pesawat militer menunjukkan bahwa China telah mengadopsi pendekatan baru yang lebih berbahaya.
Perubahan taktik ini mengubah seluruh lanskap keamanan regional dan memerlukan respons strategis yang lebih komprehensif.
Konsep gray zone warfare yang diterapkan Beijing di Selat Taiwan merepresentasikan evolusi dari strategi intimidasi konvensional menuju tekanan psikologis berkelanjutan.
Pendekatan ini dipilih karena mampu menciptakan ketidakpastian tanpa memicu respons militer langsung dari Taiwan dan sekutunya.
Baca juga: Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat
Data Kementerian Pertahanan Taiwan mencatat 75 pesawat China terlibat dalam patroli kesiapan tempur selama Mei, sementara 30 kapal tanpa dokumen terdeteksi di Kepulauan Penghu secara bersamaan.
Strategi ini terbukti lebih efektif dalam menguras sumber daya pertahanan Taiwan dibandingkan latihan militer berskala besar yang bersifat temporer.
Transformasi strategi Beijing dari "shock and awe" menuju "persistent pressure" mencerminkan perhitungan politik yang lebih matang dalam menghadapi Taiwan.
Alasan utama perubahan ini adalah kegagalan latihan militer dramatik dalam mengubah posisi politik Taipei atau menurunkan dukungan internasional terhadap Taiwan.
Aktivitas 50 hingga 70 kapal perang China yang beroperasi secara kontinyu di sekitar Taiwan sepanjang Mei menunjukkan komitmen Beijing untuk mempertahankan tekanan jangka panjang.
Pendekatan berkelanjutan ini memaksa Taiwan untuk terus dalam kondisi siaga tinggi, yang secara ekonomis dan psikologis lebih menguras dibandingkan menghadapi ancaman temporer.
Meski demikian, respons masyarakat Taiwan terhadap eskalasi terbaru ini menunjukkan pola yang menarik dan berbeda dari prediksi Beijing.
Berdasarkan pengamatan selama tinggal di Taiwan, masyarakat Taiwanese cenderung menunjukkan resiliensi yang menguat ketika menghadapi tekanan eksternal yang intensif.
Survei opini publik Taiwan menunjukkan dukungan terhadap status quo bahkan meningkat ketika Beijing mempertontonkan kekuatan militer secara berlebihan.