Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Elpeni Fitrah
Dosen

Ketua Soedirman Center for Global Studies, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Taktik Baru Beijing Mengubah Dinamika Keamanan Selat Taiwan

Kompas.com - 04/06/2025, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA menempuh studi doktoral di Taiwan dari Agustus 2019 hingga Juli 2023, saya menyaksikan langsung bagaimana dinamika hubungan China-Taiwan mengalami transformasi signifikan.

Perkembangan terbaru ini semakin mengonfirmasi tren tersebut, di mana pengerahan 70 kapal China di perairan Taiwan pada Mei 2025, menandai perubahan fundamental dalam strategi Beijing yang tidak lagi mengandalkan latihan militer berkala, tapi beralih pada tekanan berkelanjutan yang sistematis.

Bukti aktivitas kapal tanpa identitas di Selat Taiwan dan koordinasi dengan ratusan penerbangan pesawat militer menunjukkan bahwa China telah mengadopsi pendekatan baru yang lebih berbahaya.

Perubahan taktik ini mengubah seluruh lanskap keamanan regional dan memerlukan respons strategis yang lebih komprehensif.

"Gray Zone Warfare"

Konsep gray zone warfare yang diterapkan Beijing di Selat Taiwan merepresentasikan evolusi dari strategi intimidasi konvensional menuju tekanan psikologis berkelanjutan.

Pendekatan ini dipilih karena mampu menciptakan ketidakpastian tanpa memicu respons militer langsung dari Taiwan dan sekutunya.

Baca juga: Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat

Data Kementerian Pertahanan Taiwan mencatat 75 pesawat China terlibat dalam patroli kesiapan tempur selama Mei, sementara 30 kapal tanpa dokumen terdeteksi di Kepulauan Penghu secara bersamaan.

Strategi ini terbukti lebih efektif dalam menguras sumber daya pertahanan Taiwan dibandingkan latihan militer berskala besar yang bersifat temporer.

Transformasi strategi Beijing dari "shock and awe" menuju "persistent pressure" mencerminkan perhitungan politik yang lebih matang dalam menghadapi Taiwan.

Alasan utama perubahan ini adalah kegagalan latihan militer dramatik dalam mengubah posisi politik Taipei atau menurunkan dukungan internasional terhadap Taiwan.

Aktivitas 50 hingga 70 kapal perang China yang beroperasi secara kontinyu di sekitar Taiwan sepanjang Mei menunjukkan komitmen Beijing untuk mempertahankan tekanan jangka panjang.

Pendekatan berkelanjutan ini memaksa Taiwan untuk terus dalam kondisi siaga tinggi, yang secara ekonomis dan psikologis lebih menguras dibandingkan menghadapi ancaman temporer.

Meski demikian, respons masyarakat Taiwan terhadap eskalasi terbaru ini menunjukkan pola yang menarik dan berbeda dari prediksi Beijing.

Berdasarkan pengamatan selama tinggal di Taiwan, masyarakat Taiwanese cenderung menunjukkan resiliensi yang menguat ketika menghadapi tekanan eksternal yang intensif.

Survei opini publik Taiwan menunjukkan dukungan terhadap status quo bahkan meningkat ketika Beijing mempertontonkan kekuatan militer secara berlebihan.

Hal ini mengindikasikan bahwa strategi intimidasi China justru memperkuat identitas dan keteguhan Taiwan untuk mempertahankan otonomi politik mereka.

Namun, dimensi regional dari eskalasi ini jauh lebih kompleks dan mengancam stabilitas keseluruhan Asia-Pasifik.

Baca juga: Nexus akan Menyingkirkan QRIS?

 

Konsep "rantai pulau pertama" yang menghubungkan Okinawa, Taiwan, dan Filipina menjadi arena kontestasi strategis antara China dan Amerika Serikat beserta sekutunya.

Aktivitas China yang meluas hingga Laut Kuning menunjukkan ambisi untuk menguji respons Korea Selatan dan Jepang sebagai sekutu kunci AS di kawasan.

Insiden diplomatik antara Jepang dan China terkait pelanggaran wilayah udara membuktikan bahwa eskalasi di Selat Taiwan berpotensi memicu konflik yang lebih luas di kawasan.

Oleh sebab itu, paradoks deterrence menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati dalam konteks ini. Semakin intensif tekanan militer yang diberikan Beijing, semakin kuat solidaritas yang terbangun antara Taiwan dan sekutu-sekutunya di kawasan.

Pernyataan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth di Singapura tentang persiapan China untuk menggunakan kekuatan militer justru memperkuat justifikasi bagi penguatan kerja sama keamanan regional.

Respons Beijing yang memperingatkan Washington untuk "tidak bermain dengan api" menunjukkan bahwa eskalasi ini telah menciptakan spiral ketegangan yang sulit dikendalikan oleh semua pihak.

Respons Regional

Bagi Indonesia dan ASEAN, eskalasi di Selat Taiwan menghadirkan dilema strategis antara menjaga netralitas dan melindungi kepentingan keamanan regional.

Posisi geografis Indonesia yang strategis di jalur perdagangan internasional membuat stabilitas Selat Taiwan menjadi kepentingan vital bagi ekonomi nasional.

Lebih dari 60 persen perdagangan Indonesia dengan Asia Timur melewati jalur yang berdekatan dengan Taiwan, sehingga konflik di kawasan tersebut akan berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia.

ASEAN sebagai organisasi regional perlu mengembangkan mekanisme diplomasi preventif yang lebih efektif untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.

Meski demikian, keterbatasan struktural ASEAN dalam menghadapi konflik besar seperti China-Taiwan memerlukan pendekatan yang lebih realistis.

Baca juga: Plus Minus bagi Indonesia bila Mengakui Negara Israel

Prinsip non-interferensi ASEAN menjadi hambatan dalam mengambil posisi tegas terhadap aktivitas militer China yang semakin agresif.

Namun, ASEAN dapat berperan dalam memfasilitasi dialog informal dan membangun confidence-building measures antara semua pihak yang terlibat.

Pengalaman ASEAN dalam mengelola Laut China Selatan dapat menjadi model untuk pendekatan diplomatik yang lebih konstruktif dalam isu Taiwan.

Proyeksi jangka menengah menunjukkan bahwa intensitas gray zone warfare di Selat Taiwan akan terus meningkat seiring dengan siklus politik di Taiwan dan China.

Pemilihan presiden Taiwan pada 2028 dan Kongres Partai Komunis China akan menjadi momen-momen kritis yang berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut.

Pola yang terlihat adalah Beijing akan terus menggunakan momentum politik untuk memproyeksikan kekuatan militer sebagai bentuk intimidasi terhadap Taiwan.

Antisipasi terhadap pola ini memerlukan persiapan diplomasi regional yang lebih matang dan terkoordinasi.

Oleh sebab itu, pentingnya dialog dan diplomasi preventif tidak dapat diabaikan dalam menghadapi transformasi strategi Beijing ini.

Mekanisme komunikasi darurat antara China, Taiwan, dan negara-negara regional perlu dibangun untuk mencegah miskalkulasi yang dapat memicu konflik terbuka.

Track-two diplomacy melalui forum akademik dan bisnis dapat menjadi alternatif ketika jalur diplomatik resmi mengalami kebuntuan.

Pengalaman manajemen krisis di berbagai kawasan menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka dan transparan merupakan kunci pencegahan eskalasi yang tidak terkendali.

Transformasi strategi Beijing dalam bentuk gray zone warfare telah mengubah paradigma keamanan di Selat Taiwan dari konflik episodik menjadi ketegangan berkelanjutan.

Transformasi ini memerlukan rekalkulasi strategis dari semua pihak, termasuk Indonesia dan ASEAN, untuk mengembangkan respons yang proporsional, tapi efektif.

Stabilitas regional di Asia-Pasifik bergantung pada kemampuan semua stakeholder untuk mengelola kompetisi strategis tanpa mengorbankan perdamaian dan prosperitas bersama.

Momentum saat ini menjadi ujian bagi kedewasaan diplomasi regional dalam menghadapi tantangan keamanan abad ke-21.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau