KOMPAS.com – Kota Surakarta, yang lebih populer dengan nama Solo, merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa yang hingga kini tetap hidup dan berkembang.
Di balik namanya yang akrab di telinga masyarakat, tersimpan sejarah panjang mengenai asal-usul kota ini, mulai dari peristiwa Geger Pecinan, perpindahan keraton, hingga pergulatan identitas antara sebutan Sala, Solo, dan Surakarta.
Baca juga: Mengapa Dinamakan Solo? Ini Sejarah dan Asal-usul Kota Surakarta
Sejarah lahirnya Kota Solo berawal dari tahun 1743, ketika terjadi peristiwa Geger Pecinan.
Kala itu, Keraton Kartasura dipimpin oleh Sunan Pakubuwono II.
Ia semula bersumpah untuk mengusir Belanda bersama pasukan Jawa dan etnis Tionghoa.
Namun, sikapnya yang dinilai berpihak kepada Belanda memicu pemberontakan yang dipimpin Raden Mas Garendi, atau Sunan Kuning, sepupunya sendiri.
Keraton Kartasura akhirnya hancur akibat serangan tersebut.
Dalam pandangan Jawa, sebuah keraton yang sudah porak poranda dianggap kehilangan tuahnya dan tak pantas lagi dibangun di tempat yang sama.
Maka, Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan.
Pilihan jatuh pada Desa Sala, sebuah perkampungan yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo.
Lokasi ini dianggap strategis karena dekat dengan jalur perdagangan sekaligus memiliki nilai simbolis sebagai pusat kehidupan masyarakat.
Pemindahan keraton ini dikenal dengan istilah Boyong Kedaton, yang berlangsung pada 17 Februari 1745.
Prosesi besar itu dipimpin langsung oleh Pakubuwono II, diiringi keluarga kerajaan, para pejabat tinggi, prajurit, serta pusaka-pusaka kerajaan.
Sejak saat itu, lahirlah Keraton Surakarta Hadiningrat, yang hingga kini masih berdiri megah.
Warga memadati lampion shio ular sebagai maskot Imlek 2025 di Plaza Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (24/1/2025).Nama Surakarta dipilih sebagai kelanjutan dari Kartasura, dengan makna filosofis: “sura” berarti berani, sedangkan “karta” berarti sempurna.