KOMPAS.com - Ketika gempa berkekuatan M 7,8 mengguncang Ekuador pada April 2016, kota pesisir Manta hancur lebur. Pusat komersial Tarqui rata dengan tanah, dan jalanan dipenuhi puing-puing bangunan bata dan beton yang roboh.
Namun, di tengah kehancuran, warisan tak terduga dari gempa tersebut masih terlihat jelas.
Di kawasan yang menjadi titik nol gempa di Manta, sejumlah bangunan berbahan bambu—mulai dari paviliun pasar ikan, pusat informasi turis, restoran, hingga kantor pemadam kebakaran—tetap berdiri di tepi pantai.
Ratusan rumah bambu tradisional di kota tersebut dan sekitarnya juga selamat.
"Semuanya dibangun sebelum gempa dan tetap berdiri kokoh (saat gempa)," kata Pablo Jácome Estrella, Direktur Regional untuk Amerika Latin dan Karibia di International Bamboo and Rattan Organization (Inbar) dikutip BBC News.
Baca juga: Dibuka Hari Ini, Jembatan Pandansimo Dirancang Tahan Gempa M 9,0 dan Likuifaksi
Bambu telah digunakan sebagai material konstruksi selama ribuan tahun di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Berdasalkan uji laboratorium dan penelitian mengungkap, kunci dari ketahanan bambu adalah fleksibilitasnya.
Batang bambu memiliki berat yang ringan, sehingga mengurangi massa struktur bangunan. Penelitian menunjukkan bahwa daktilitas—kemampuan untuk menahan angin kencang—juga memungkinkannya menyerap guncangan seismik.
Para insinyur dan arsitek kini membandingkan properti alami bambu dengan baja, menjadikannya material ideal untuk menghadapi gempa.
"Alam merancangnya untuk melentur," kata Bhavna Sharma, profesor di University of Southern California yang fokus pada penggunaan bambu dalam konstruksi.
Survei pascagempa terhadap lebih dari 1.200 bangunan di Manabí menunjukkan temuan signifikan.
Sebastian Kaminski, insinyur struktur dari firma konsultan konstruksi Arup, yang ikut dalam misi tersebut, mencatat bahwa secara keseluruhan, bangunan beton bertulang mengalami tingkat kerusakan yang lebih besar daripada bangunan kayu dan bambu.
Kaminski menambahkan bahwa keunggulan utama bangunan bambu tradisional adalah sifatnya yang ringan. Struktur yang ringan cenderung menarik gaya gempa yang lebih kecil.
"Yang terpenting, karena cenderung ringan, keruntuhannya tidak terlalu berisiko terhadap keselamatan jiwa penghuninya," jelas Kaminski.
Inilah mengapa konstruksi bahareque (dikenal sebagai wattle and daub), metode tradisional yang menggunakan anyaman bambu ditutupi lapisan tanah liat basah, terbukti unggul.
Pada gempa berkekuatan M 6,2 di Kolombia tahun 1999, para pengamat mencatat bahwa struktur bahareque tampak bertahan pada tingkat yang lebih tinggi daripada bangunan yang menggunakan material pasangan bata, seperti bata dan blok semen.
Luis Felipe Lopez, Manajer Umum Base Bahay Foundation di Filipina, mengatakan gempa di Kolombia itu mengubah pandangan dunia.
"Begitu jelas bagi pemerintah bahwa rumah-rumah bahareque ini menyelamatkan banyak nyawa," katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang