WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Jurnalis asal Indonesia yang kini menjabat sebagai Kepala Biro Gedung Putih Voice of America (VOA), Patsy Widakuswara, menggugat pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Gugatan ini bermula dari perintah eksekutif Trump pada Maret 2025 yang memerintahkan penghentian sebagian besar aktivitas VOA dan pemangkasan besar-besaran terhadap badan induknya, US Agency for Global Media (USAGM).
Akibat kebijakan tersebut, ratusan pegawai kontrak diberhentikan. Sekitar 800 pegawai tetap, termasuk tim jurnalis di bawah kepemimpinan Patsy, terpaksa menghentikan hampir seluruh kegiatan redaksional mereka.
Baca juga: Trump Setop Pendanaan VOA dan RFE, Ratusan Jurnalis Diberhentikan
Patsy bersama sejumlah jurnalis VOA lainnya mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Distrik Washington DC dengan nama perkara “Widakuswara v Lake”, merujuk pada Kari Lake, tokoh yang ditunjuk Trump untuk mengawasi USAGM dan melaksanakan pembekuan aktivitas VOA.
“Saya dan beberapa kolega saya menggugat Pemerintah Trump karena kami merasa independensi dan anggaran VOA ditentukan oleh legislatif atau Kongres, bukan eksekutif,” ujar Patsy melalui sebuah video yang diunggah di platform X pada Minggu (24/8/2025).
A post in Indonesian to combat viral misinformation in my home country that VOA has been eliminated. Bottom line: we may be crippled but we are alive and fighting back! #savevoa pic.twitter.com/r94qM6pfmR
— Patsy Widakuswara (@pwidakuswara) August 23, 2025
Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan mandat Kongres yang tertuang dalam VOA Charter, yang menegaskan bahwa pemberitaan harus akurat, obyektif, dan bebas dari intervensi politik.
Sejumlah pihak di Washington juga menyuarakan keprihatinan serupa, menyebut langkah Trump sebagai ancaman nyata terhadap kebebasan pers.
Pemerintah Trump berdalih, kebijakan ini diambil demi efisiensi anggaran federal. Melalui Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE) yang dipimpin Elon Musk, Trump mengklaim bahwa penutupan VOA diperlukan untuk menghapus “propaganda radikal yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.”
Tak hanya siaran yang dihentikan, pemangkasan juga menyasar anggaran operasional VOA, meski sebelumnya telah disetujui oleh Kongres.
“Pemerintah menilai, jurnalisme independen VOA tidak sejalan dengan agenda politik Presiden Trump,” ujar Patsy.
Dikutip dari laman SaveVOA, pemangkasan tersebut menyebabkan jam produksi VOA menurun drastis, dari semula 2.391 jam tayangan per minggu menjadi hanya beberapa artikel web dan satu atau dua video per hari dalam empat bahasa: Farsi, Mandarin, Dari, dan Pashto.
Baca juga: RFA dan VOA Gugat Pemerintahan Trump atas Pemotongan Dana
Setiap pekan, kontennya menjangkau 361 juta audiens global melalui radio, televisi, situs web, dan media sosial.
VOA juga berperan sebagai saluran diplomasi publik AS untuk menjangkau masyarakat di negara-negara dengan kebebasan pers yang terbatas.
Namun, di era Trump, peran strategis ini justru menjadi sorotan. Media yang dibiayai publik tersebut dianggap tak lagi selaras dengan arah politik Gedung Putih.
Pengadilan Distrik Washington DC sebelumnya memutuskan kemenangan di pihak jurnalis. Meski demikian, pemerintah mengajukan banding dan proses hukum masih terus berjalan.
Sidang terbaru dijadwalkan berlangsung pada Senin (25/8/2025) pukul 11.00 waktu setempat di Washington DC.
“Intinya, ini bukan akhir dari VOA. Kami akan terus berjuang demi jurnalisme independen yang dipercaya 360 juta audiens di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” tegas Patsy.
Baca juga: Deretan Kontroversi Robert Reilly, Direktur VOA yang Depak Reporter Asal Indonesia dari Gedung Putih
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini