KOMPAS.com - Laporan baru dari LSM kemanusiaan Mercy Corps menemukan kota Kabul di Afghanistan berisiko menjadi ibu kota modern pertama yang kehabisan air.
Kabul mengalami kekeringan akibat kombinasi berbagai faktor, termasuk perubahan iklim, pengelolaan sumber daya air yang buruk, urbanisasi yang pesat, dan populasi yang membengkak hingga sekitar 5 hingga 6 juta jiwa.
Krisis air ini bahkan telah mencapai titik kritis. Sumber air tanah (akuifer) terkuras lebih cepat daripada pengisiannya. Selain itu, ada masalah lain terkait air, yaitu harganya yang tidak terjangkau, kontaminasi, dan infrastruktur yang buruk.
Masyarakat di sana pun mengaku tidak ada sumur berkualitas baik yang tersedia dan tidak tahu bagaimana keluarga mereka akan bertahan hidup jika keadaan semakin buruk.
Masalah air Kabul sudah lama ada, tapi jadi makin parah setelah Taliban kembali berkuasa pada 2021 karena bantuan dana kemanusiaan untuk Afghanistan menurun drastis.
Baca juga: Investasi Pompa Air Rp 1,7 Triliun untuk Pangan: Solusi atau Ancaman Baru?
"Tanpa perubahan besar-besaran pada dinamika pengelolaan air Kabul, kota ini menghadapi bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dekade mendatang, dan kemungkinan besar jauh lebih cepat," tulis perwakilan Mercy Corps dalam kesimpulan laporan tersebut, dikutip dari Live Science, Kamis (24/7/2025).
Laporan baru ini mengacu pada studi sebelumnya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menemukan bahwa air tanah Kabul berisiko habis pada tahun 2030.
Menurut laporan tersebut sekitar separuh dari sumur bor di Provinsi Kabul sudah kering. Saat ini, setiap tahun, pengambilan air melebihi pengisian alami sekitar 1,5 miliar kaki kubik (44 juta meter kubik).
Mohammed Mahmoud kepala eksekutif LSM Climate and Water Initiative dan penanggung jawab kebijakan iklim dan air Timur Tengah di U.N. University's Institute of Water, Environment, and Health, menggambarkan temuan laporan tersebut sebagai "sangat mengkhawatirkan".
Dia juga menyatakan keprihatinannya terhadap penurunan tajam permukaan air tanah di Kabul dan semakin banyaknya penduduk yang terpaksa mengeluarkan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk mendapatkan air.
Mercy Corps melaporkan bahwa permukaan air tanah (akuifer) di Kabul telah turun sekitar 30 m dalam satu dekade terakhir. Beberapa rumah tangga bahkan menghabiskan hingga 30 persen dari pendapatan mereka hanya untuk air.
"Ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan darurat kesehatan masyarakat, krisis mata pencaharian, dan pemicu yang mengancam potensi pengungsian manusia dalam skala besar," ujar Mahmoud.
Kelangkaan air merupakan masalah global yang memengaruhi berbagai wilayah. Sumber daya air telah terkuras dalam beberapa dekade terakhir, dengan faktor lingkungan seperti perubahan iklim yang meningkatkan frekuensi dan keparahan kekeringan, sementara faktor manusia seperti pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan air.
Sebuah studi tahun 2016 yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports menemukan bahwa antara tahun 1900-an dan 2000-an, jumlah orang yang menghadapi kelangkaan air meningkat dari 240 juta menjadi 3,8 miliar, atau dari 14 persen menjadi 58 persen dari populasi global.
Wilayah yang berisiko tinggi mengalami kelangkaan air antara lain Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
Baca juga: Clean Air Asia Hitung dan Petakan Beban Emisi Jabodetabek, Hasil Rilis Agustus
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya