JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Rinny Cempaka, mengungkapkan pihaknya masih menunggu keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait polemik keramba jaring apung di Pangandaran.
Pasalnya, perizinan KJA di Pantai Timur Pangandaran itu dikeluarkan Direktorat Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP.
"Kami menunggu dari pusat hasilnya, walaupun dari Pak Gubernur statement-nya bahwa beliau kurang berkenan terkait dengan KJA. Tetapi ini sedang kami coba tempuh untuk penataannya supaya lebih baik lagi," ujar Rinny saat dihubungi, Rabu (20/8/2025).
Menurut dia, KKP nantinya yang akan memonitoring dan mengevaluasi perizinan yang dikeluarkan. Rinny menjelaskan, ada tiga perizinan KJA milik tiga perusahaan di Pantai Timur Pangandaran. Salah satunya, kerja sama PT PBS dengan Universitas Padjajaran.
Baca juga: Menteri KKP: Perikanan Tangkap Harus Dekati Nol, Misi 1.100 Kampung Nelayan Strateginya
"Kalau sekarang, ada tiga perusahaan di sana. (Milik) Pak Supriadi kurang lebih 400 meteran. PT Vietmindo masih belum ada ada aktivitas jadi masih kosong, kemudian dari PT PBS kurang lebih 800 meteran terpasang," ungkap dia.
Rinny menyebut, keramba sudah terpasang sejak lama di kawasan Pangandaran. Namun, kali ini menuai penolakan lantaran lokasinya yang dianggap mengganggu aktivitas pariwisata setempat. Ia memastikan, KJA Pangandaran tidak beroperasi sementara waktu.
"Kemarin dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia lebih menyuarakan bahwa itu mengganggu aktivitas wisata. Walaupun dari sisi lahan itu memang termasuk lahan yang dapat dimanfaatkan dengan persyaratan," kata Rinny.
"Itu yang mungkin kami coba mintakan lagi ke KKP untuk dilihat kembali, dievaluasi kembali karena salah satu kewajiban dari KKPRL adalah tidak ada konflik," imbuh dia.
Duduk perkara kasus itu bermula dari penolakan mantan Menteri KP, Susi Pudjiastuti dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait keberadaan KJA di Pantai Timur Pangandaran.
Susi menyebut keputusan izin KKPRL itu tidak sejalan dengan aturan tata ruang laut, yang seharusnya membatasi aktivitas industri dalam radius 1–2 mil laut dari pantai.
Baca juga: OceanX–BRIN–KI Dukung Target Konservasi dan Perikanan Berkelanjutan
“Yang beri izin, Dirjen Penataan Ruang Laut gelo (gila), teu nyaho pagawean jeung kaayaan (tidak tahu pekerjaan dan kondisi lapangan),” tutur Susi.
Susi mempertanyakan mengapa KJA justru ditempatkan hanya 200 meter dari bibir pantai, padahal masih banyak lokasi lain yang lebih sesuai. Sementara itu, Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa pandangannya sejalan dengan Susi Pudjiastuti.
“Bu Susi itu dari sisi pandangan, ekosistem, dan konservasi selaras dengan apa yang saya pikirkan. Laut yang sudah menjadi kawasan wisata tidak boleh diubah fungsi tata guna lautnya. Biarkan tetap menjadi hamparan pantai,” sebut Dedi.
Dia berpandangan, pembangunan keramba atau bentuk budidaya laut lain di zona wisata bisa merusak lingkungan sekaligus mengganggu mobilitas kapal nelayan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya