KOMPAS.com – Masyarakat adat Aru masih menyimpan trauma setiap kali mendengar proyek karbon. Pengalaman pahit masa lalu membuat mereka waspada.
Beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan datang menawarkan program budidaya teripang, rumput laut, dan kepiting bakau. Warga pun menyambut baik. Namun, setelah kesepakatan tercapai, izin lahan yang diberikan justru dipakai untuk proyek kredit karbon, sesuatu yang sama sekali asing bagi mereka.
“Karbon kredit sesungguhnya merupakan sesuatu hal yang baru bagi kami. Sesuatu yang rasanya asing bagi kami. Jadi, karena masyarakat merasa sudah dibohongi, sehingga dengan spontan mereka menolak dan mengusir perusahaan itu hingga hari ini tidak kembali lagi ke Aru," ujar perwakilan masyarakat adat Aru, Mama Ocha, dalam sebuah webinar, Jumat (26/9/2025).
Meski demikian, warga Aru kemudian memahami bahwa hutan adat dan mangrove mereka menyimpan potensi besar dalam skema perdagangan karbon. Selama ini, kawasan hutan tersebut terjaga dengan baik dan bisa menjadi aset berharga jika dikelola secara bertanggung jawab serta melibatkan masyarakat adat secara aktif.
Mama Ocha menegaskan, mekanisme perdagangan karbon seharusnya lebih sederhana dan menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama.
"Jika ada perusahaan yang ingin berinvestasi di Aru melalui kredit karbon, maka diharapkan bahwa paling tidak diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat tentang apa itu kredit karbon, apa manfaatnya bagi masyarakat, apa dampaknya, positif bahkan negatifnya, bagaimana mekanisme atau proses penjualannya, dan bagaimana posisi masyarakat adat," ucapnya.
Pandangan serupa disampaikan pakar tata kelola karbon dari Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Riko Wahyudi. Menurutnya, masyarakat adat sebagai aktor utama perlu didampingi pihak yang kompeten dan berintegritas. Pendampingan itu penting agar prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa) benar-benar dijalankan, sehingga potensi eksploitasi dapat dihindari.
Baca juga: Orang Tua Ingin Atasi Perubahan Iklim, Tapi Sulit Terapkan Gaya Hidup Minim Karbon
Riko menambahkan, panduan etik yang jelas harus dibuat untuk memastikan masyarakat adat tidak dipaksa dalam proyek karbon. Informasi juga wajib disampaikan secara utuh, mulai dari potensi manfaat, penjualan karbon, hingga pembagian keuntungan.
"Diinformasikan sedetail-detailnya. Karena ada juga nih, kadang-kadang enggak disampaikan secara utuh, seolah-olah disebut ini proyek perlindungan hutan. Tidak disebut itu proyek karbon, akan disertifikasi, akan mendapat manfaat segini, akan dijual di sini, berapa yang akan (peroleh), itu tidak disampaikan. Jadi, ada misinformasi di situ, sehingga muncul nanti di kemudian hari konflik-konflik yang tidak diinginkan," tutur Riko.
Ia menekankan pentingnya peran validator independen untuk memastikan keterlibatan masyarakat adat dan memverifikasi apakah proyek karbon sesuai dengan standar internasional.
"Ketika mereka bicara proses etik, itu hanya (kepada) elit di desa. Jadi, yang menandatangani proses etik itu hanya dua atau tiga orang perwakilan desa. Enggak boleh kalau tiga orang (saja, sebenarnya memang) harus minimal 100 KK per desa dan dipastikan ada KTP-nya, ditunjukin fotonya. Kalau ada 100 KK, ya, 100 foto KTP untuk membuktikan bahwa mereka melakukan itu," ujarnya.
Apabila terjadi pelanggaran, Riko menekankan perlunya mekanisme keluhan yang jelas. Pemerintah, katanya, harus berperan sebagai penyaring untuk menilai kredibilitas proyek karbon. Ia juga menyarankan keterlibatan organisasi masyarakat sipil serta jurnalis sebagai pengawas independen.
"Kalau ada perusahaan-perusahaan nakal, mereka mengakali proses etik atau safeguard (kebijakan untuk melindungi masyarakat adat sebagai aktor utama dalam perdagangan karbon), dan lain-lain, menurut kami itu filternya, pertama, ada di proses validasi dan verifikasi di masing-masing standar, apakah di SRN (Sistem Registrasi Nasional) atau di standar internasional, seharusnya validator memeriksa hal-hal seperti itu," pungkas Riko.
Baca juga: Paradoks Penjaga Karbon Papua
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya