SOROWAKO, KOMPAS.com – Embun pagi masih menyisakan hawa dingin saat tim Kompas.com tiba di Himalaya Hill, Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Sabtu (20/9/2025), sekitar pukul 05.00 WITA.
Kabut tipis menyelimuti pepohonan, cahaya matahari perlahan menembus celah ranting, sementara kicauan burung sahut-menyahut. Sekilas, suasana ini mirip hutan hujan tropis alami.
Namun, siapa sangka, area seluas 31,04 hektare yang kini lebat dan asri itu dulunya adalah lahan bekas tambang nikel yang gersang dan tandus.
Keberadaan Himalaya Hill merupakan bukti nyata keberhasilan program reklamasi lahan yang dijalankan oleh PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) sejak 2004, dengan puncak penanaman terjadi pada 2006.
Baca juga: Vale Indonesia Lakukan Reklamasi 3.791 Hektare Lahan Tambang di Sulsel
PT Vale Indonesia memiliki komitmen berkelanjutan untuk mengubah lahan bekas tambang menjadi kawasan hijau yang dapat menopang ekosistem kembali. Upaya ini bukan sekadar kewajiban, melainkan sebuah misi besar.
Salah satu upaya besar yang dilakukan adalah dengan membangun arboretum di Himalaya Hill. Arboretum ini bukan sekadar area penanaman pohon biasa, melainkan laboratorium alam serta sumber benih yang memprioritaskan penanaman spesies endemik dan dilindungi serta upaya konservasi flora lokal agar tetap lestari.
Arboretum itu berdiri dengan melibatkan kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi, seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Hasanuddin.
Perjalanan Himalaya Hill dari lahan tambang menjadi arboretum bukanlah proses instan, melainkan sebuah perjalanan panjang.
Baca juga: Vale Indonesia Klaim Telah Rehabilitasi 2,5 Kali Lahan Tambangnya
Pada 2004, area ini masih berupa lahan bekas tambang yang tandus. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 2006, dimulailah penanaman bibit pohon secara intensif dan masif sebagai puncak dari inisiasi reklamasi.
Salah satu ikon penanaman yang dapat dijumpai yaitu pohon Agathis (Agathis dammara) yang ditanam oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2000 – 2009 Purnomo Yusgiantoro pada 2006.
Secara bertahap, pada 2010, tanaman pionir (fast grow) mulai tumbuh dan membentuk kanopi awal untuk menciptakan iklim mikro. Lanskap Himalaya Hill terus berubah signifikan. Pada 2015, area ini sudah tampak rimbun dan hijau dan beberapa area tajuk-tajuk pepohonan mulai saling menyilang.
Hingga akhirnya, pada 2020, area tersebut telah sepenuhnya berubah menjadi hutan lebat, ditandai dengan tumbuhnya anakan pohon pionir dan lokal. Beberapa jenis tanaman strata bawah, seperti pakis, paku-pakuan, dan rotan, juga mulai tumbuh.
Baca juga: Vale Indonesia Bangun PLTA di Pabrik Sorowako untuk Tekan Emisi Karbon dan Biaya Operasional
Selain itu, berbagai jenis pakis, seperti pakis monyet, pakis lidah rusa, dan pakis resam, serta rotan hutan alami, turut mewarnai lanskap interior arboretum Himalaya Hill.
“Beberapa indikator tersebut juga menjadi penanda bahwa proses suksesi alami telah berjalan serta alam sudah siap memulai restorasi secara alamiah,” ujar Supervisor Reclamation and Rehabilitation PT Vale Indonesia Charles Andrianto.
Perjalanan ini mendapat kehormatan pada 2025, ketika Himalaya Hill mendapat kunjungan dari berbagai menteri, seperti Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Lebih lanjut, Charles menuturkan, ada tiga aspek yang menjadi indikator keberhasilan reklamasi berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1827 Tahun 2018. Tiga aspek tersebut adalah penataan lahan, revegetasi, dan penyelesaian akhir.
Baca juga: Dari Film Sore ke Sorowako, Menelisik Komitmen Industri Wujudkan Praktik Tambang Berkelanjutan
Aspek penataan lahan, dengan bobot penilaian 60 persen, meliputi penimbunan lubang bekas tambang, pengendalian erosi dan sedimentasi hingga stabilisasi tapak tanam (lahan).
Sementara revegetasi memiliki bobot 20 persen, mencakup jumlah tanaman, komposisi fastgrow dan endemik atau lokal, serta pertumbuhan covercropping.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya