SOROWAKO, KOMPAS.com – "Climate change enggak hanya tentang es mencair di kutub. Kita juga gak hanya akan kehilangan kehidupan. Tapi juga (kehilangan) keindahan. Rasanya orang gak akan pernah berubah karena rasa takut, tapi karena dicintai."
Kalimat itu meluncur dari bibir Jonathan—fotografer yang peduli pada isu lingkungan—saat berdiri di tengah pameran foto tunggalnya. Ia adalah tokoh utama dalam film Sore: Istri dari Masa Depan.
Film itu berkisah tentang Sore, seorang perempuan dari masa depan yang kembali ke masa kini untuk menyelamatkan suaminya, Jonathan, dari takdir buruk—kematian di usia muda akibat pola hidup tak sehat.
Berkali-kali Sore mencoba memperingati dan membujuk, tapi Jonathan selalu gagal berubah. Sampai akhirnya Sore menyadari bahwa perubahan sejati tidak bisa dipaksakan dari luar. Ia hanya terjadi jika seseorang memiliki keinginan kuat dari dalam diri.
Film tersebut pun menggambarkan waktu sebagai entitas yang rapuh dan tak bisa diulang. Sama seperti Sore yang tak mampu memutar balik kehidupan Jonathan, manusia pun tak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi di alam.
Di titik itulah, film tersebut terasa relevan dengan tantangan terbesar dunia hari ini, perubahan iklim.
Perubahan iklim bukan sekadar gambaran es di kutub utara yang mencair. Kondisi ini hadir secara nyata di sekitar kita, mulai dari suhu ekstrem, musim tak menentu, naiknya permukaan laut, hingga kebakaran hutan yang makin sering terjadi.
Sama seperti Jonathan, manusia kini berada di persimpangan, terus bertahan dengan pola lama yang merusak atau memilih berubah demi masa depan.
Pilihan yang sama juga dihadapi dunia industri. Sektor ini telah lama menjadi motor pertumbuhan ekonomi, tapi sekaligus penyumbang emisi yang mempercepat krisis iklim.
Karena itu, inovasi dan komitmen menuju masa depan berkelanjutan bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan.
Dengan pendekatan yang bertanggung jawab, industri tak lagi dipandang sebagai sumber masalah, tetapi motor perubahan menuju masa depan yang lebih hijau.
Salah satu strategi penting bagi industri dalam menghadapi krisis iklim secara berkelanjutan adalah dekarbonisasi—upaya mengurangi emisi karbon di seluruh rantai produksi.
Langkah tersebut sudah mulai diterapkan oleh sejumlah pelaku industri, termasuk sektor pertambangan. Contoh nyata bisa dilihat dari komitmen dan langkah transformasi PT Vale Indonesia di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Perseroan menargetkan dapat mencapai target net zero emission (NZE) pada 2050—lebih awal dari program yang ditetapkan pemerintah.
Baca juga: Sinergi Baru Tambang Nikel Berkelanjutan, Vale dan AMM Teken Kontrak 8 Tahun
Salah satu langkah nyata dilakukan dengan mengurangi kadar air pada bijih nikel sebelum dikeringkan. Upaya ini dapat menghemat energi saat pengeringan dan pada akhirnya mengurangi emisi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya