PEREKONOMIAN seperti jam besar di stasiun tua, berdenyut bukan hanya karena detik yang berdetak, tapi oleh gerak roda-roda kecil yang terus bekerja di dalamnya.
Ada roda konsumsi rumah tangga (C), ada roda investasi (I), ada roda perdagangan internasional (X-M), dan ada satu roda besar bernama belanja pemerintah (G).
Rumus Keynesian yang kita pelajari sejak bangku kuliah: f(y) = C + I + G + (X – M), menjadi mantra klasik yang hingga kini masih menjadi dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi.
Dan di Indonesia, roda "G" (government spending, atau belanja pemerintah) itu adalah napas utama yang menjaga jarum jam tetap bergerak.
Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026 pada 14 Mei 2025 dan diundangkan pada 20 Mei 2025, ada harapan dan ada tanya.
Harapan bahwa anggaran negara akan lebih hemat, lebih efisien, lebih efektif. Ada juga tanya, apakah langkah ini sekadar upaya pemangkasan angka atau benar-benar upaya reformasi anggaran yang bijak?
Baca juga: Anggaran Konsumsi Rapat Menteri Vs Orang Miskin
Lisbon Sirait, Direktur Sistem Penganggaran, menjelaskan dalam media briefing pada 2 Juni 2025 bahwa SBM 2026 adalah hasil penyesuaian satuan biaya berdasarkan survei BPS dan masukan dari akademisi. Tujuannya: efisiensi tanpa mengorbankan efektivitas.
Namun, efisiensi, seperti pisau bermata dua, kadang ia mengiris target yang hendak diselamatkan. Mari kita lihat data.
Pada kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87 persen (y-on-y), melambat dari 5,02persen di periode sebelumnya.
Konsumsi rumah tangga yang selama ini menopang 54,53 persen PDB, hanya tumbuh 4,89 persen. Investasi (I) bahkan lebih muram, hanya 2,12 persen, sementara ekspor-impor (X-M) terus tertekan oleh defisit neraca perdagangan dan dampak perang tarif Amerika.
Satu-satunya penyokong yang masih berdiri tegak adalah belanja pemerintah (G). Pemerintah menggelontorkan Rp 620,3 triliun di kuartal I 2025, atau sekitar 17,1 persen dari target tahunan.
Tanpa "G" ini, perekonomian kita ibarat mesin tua yang kehabisan oli: gemeretak, panas, dan bisa mogok kapan saja.
Namun, kebijakan SBM 2026 justru mengetatkan keran "G" itu. Pemangkasan honorarium pengelola keuangan hingga 38 persen, penghapusan satuan biaya komunikasi dan uang saku rapat full day, penurunan biaya transportasi 10 persen.
Semua ini tampak seperti langkah rasional di atas kertas, tetapi punya efek domino yang mungkin tidak diperhitungkan sepenuhnya.
Lihatlah, sejarah mencatat ketika MenPAN Yuddy Chrisnandi pada 2015, melarang seminar di hotel demi penghematan, industri perhotelan anjlok.