Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Exchanger Kripto Asing Wajib Tagih Pajak, Tarif Lebih Tinggi dari Lokal

Kompas.com - 01/08/2025, 19:14 WIB
Teuku Muhammad Valdy Arief

Editor

KOMPAS.com — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bakal menunjuk exchanger atau penyelenggara perdagangan aset kripto dari luar negeri untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.

“Exchanger luar negeri ini nanti akan kami tunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Kepdirjen), sama seperti PPMSE dalam negeri,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama, Jumat (1/8/2025), seperti dilansir Antara.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. PPMSE yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah platform yang memenuhi kriteria tertentu atau memilih ditunjuk sebagai pemungut.

Baca juga: Intip Skema Baru Pajak Aset Kripto, Berlaku Hari Ini

DJP menetapkan dua kriteria. Pertama, nilai transaksi dengan pengguna jasa platform melebihi batas tertentu dalam 12 bulan. Kedua, jumlah pengakses juga melebihi ambang batas dalam kurun waktu yang sama.

Rincian penunjukan serta syarat administrasi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen).

PPMSE yang tidak ditunjuk wajib menyetor dan melapor PPh 22 secara mandiri.

Tarif yang dikenakan berbeda. Untuk exchanger luar negeri, tarif PPh 22 ditetapkan 1 persen. Angka ini lebih tinggi dari tarif dalam negeri yang hanya 0,21 persen.

“Dulu kami tidak mengatur yang dari luar negeri, kami hanya atur Bappebti dan non-Bappebti. Sekarang kami atur bahwa exchanger luar negeri justru dikenakan 1 persen. Tujuannya apa? Biar teman-teman kalau beli di exchanger dalam negeri saja, lebih murah. Ini usulan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kami terima dengan baik karena berpihak kepada exchanger dalam negeri,” ujar Yoga.

Baca juga: Sri Mulyani Atur Ulang Pajak Aset Kripto, PPN Dihapus, PPh Disesuaikan

Ia menyebut DJP telah melibatkan pelaku industri sejak awal. Diskusi berlangsung sebelum aturan terbit agar pelaku usaha bisa bersiap lebih awal.

“PMK-nya memang baru muncul, tapi kalangan industri sudah kami ajak diskusi lama. Mereka tanya kapan PMK terbit, karena mereka perlu untuk mengubah sistem atau proses bisnis. Jadi, mereka pun sudah menyiapkan,” kata Yoga.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau