JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah mengubah ketentuan perpajakan untuk aset kripto lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Aturan baru ini berlaku mulai Jumat (1/8/2025).
PMK 50/2025 terbit setelah aset kripto tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas, melainkan sebagai aset keuangan digital atau digital financial asset.
Perubahan klasifikasi ini membuat pengawasan perdagangan aset kripto berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) di bawah Kementerian Perdagangan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca juga: PPN Kripto Dihapus, Kini Jadi Setara Surat Berharga
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menjelaskan perubahan status ini berdampak langsung terhadap perlakuan perpajakan.
Selama ini, kripto dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final dengan skema khusus karena dianggap sebagai komoditas.
Namun, setelah ditetapkan sebagai surat berharga digital oleh OJK, kripto dianggap memenuhi karakteristik aset keuangan digital. Artinya, kripto tidak lagi dikenai PPN.
“Sehingga aset kripto tersebut sebagai karakteristiknya yang sesuai dengan surat berharga dan sebagai aset keuangan digital itu tidak lagi dikenai pajak pertambahan nilai. Untuk itulah kita perlu mengatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Keuangan,” ujar Bimo saat Media Briefing di gedung DJP, Kamis (31/7/2025).
Ia menyebut perubahan ini perlu diikuti penyesuaian aturan pajak yang lebih menyeluruh.
Sebelumnya, PMK Nomor 81 Tahun 2024 menetapkan transaksi jual beli kripto dikenai PPh Final sebesar 0,1 persen jika dilakukan melalui bursa resmi di bawah BAPPEBTI, dan 0,2 persen untuk transaksi di luar bursa.
Baca juga: Ada Perubahan Pajak Kripto, Peluang atau Tantangan untuk Industri?
PPN juga diberlakukan, yaitu 0,11 persen untuk transaksi di bursa dan 0,22 persen untuk transaksi non-bursa.
“Tapi dari konteks awal untuk perdagangan jual dan beli kripto, sebelumnya dikenakan PPh Pasal 22 final dengan tarif tertentu, kemudian besaran tertentu untuk PPN, tarifnya 0,1 persen yang melewati BAPPEBTI, yang tidak melewati BAPPEBTI itu 0,2 persen. Jadi yang melewati bursa itu 0,1 persen dulunya di PMK lama kami, PMK 81 tahun 2024,” paparnya.