KOMPAS.com — Gelombang demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah dinilai bukan semata soal politik.
Ekonom senior INDEF, Aviliani, menyebut inti masalahnya ada pada stabilitas ekonomi yang rapuh karena pemerintah tidak mampu menunjukkan empati dan keadilan.
“Banyak kebijakan pemerintah seolah-olah Indonesia ini baik-baik saja. Orang punya image, dalam kondisi gini kok enggak ada empatinya. Itu sangat menyinggung,” kata Aviliani dalam perbincangan di Filonomics Podcast Kompas.com.
Baca juga: Kemarahan Publik Berakar di Kesenjangan Ekonomi, Bukan Hanya karena Tunjangan DPR dan Pajak
Menurutnya, akar kegelisahan publik berasal dari penghasilan yang turun, kelas menengah bawah yang tidak terjangkau bantuan sosial, hingga kebijakan fiskal yang tidak jelas komunikasinya.
“Sudah daya beli turun, pajak lagi mau dikejar-kejar. Ditambah DPR berbahagia karena tunjangan naik. Publik melihat tidak ada ruang untuk berdiskusi,” ujarnya.
Aviliani menekankan, stabilitas ekonomi hanya mungkin tercapai bila ada tiga syarat. Pertama, pemerintah fokus pada penciptaan lapangan kerja.
Kedua, komunikasi publik yang jelas agar masyarakat tidak panik. Ketiga, aparat hukum harus berperilaku adil.
“Aparat hukum ini mulai harus mampu untuk tidak hanya mengendalikan diri, tapi juga berperilaku terhadap masyarakat bahwa mereka adalah bagian yang mengayomi. Kalau hukum tebang pilih, masyarakat makin muak. Itu bisa jadi pemicu instabilitas,” tegasnya.
Baca juga: PDIP dan Gerindra Kompak Minta Tunjangan Perumahan DPR Disetop
Dari sisi pasar, dampak aksi demonstrasi sudah terlihat.
Sebagai informasi, nilai kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia sempat susut Rp 195 triliun dalam sehari saat demonstrasi besar berlangsung.