NYARIS terjadi di hampir semua kawasan, saat ini dunia sedang diwarnai kekerasan dan manipulasi geopolitik.
“Kolonialisme modern” sedang dipraktikkan oleh sejumlah negara adikuasa dalam bentuk perburuan sumber daya alam dan perlombaan dominasi, yang tak kalah destruktif dibanding kolonialisme klasik.
Praktik penjajahan tidak berhenti. Terus mengalir dan berjalan. Yang berubah hanyalah metode, sedangkan nafsu dominasi tetap sama dan bahkan makin menguat.
Dunia internasional berada dalam paradoks. Betapa sering narasi idealisme global berkumandang bahwa semua pihak harus menjunjung tinggi HAM, demokrasi, dan kesetaraan.
Namun, kebalikan dari itu semua, justru kekuatan-kekuatan adidaya sedang memperbarui praktik kolonial dalam versi halus.
Kolonialisme tidak lagi datang dengan sejumlah pasukan militer yang membawa panser dan meriam, tetapi dengan dominasi dan monopoli.
Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia
Aliansi internasional menjelma menjadi tangan tak kasat mata untuk menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik negara-negara berkembang dan negara-negara adidaya terlibat dalam konflik di kawasan strategis demi kendali atas jalur energi.
Dalam dunia yang terkepung oleh perburuan sumber daya alam dan dominasi adikuasa, dunia memerlukan “lorong sunyi” yang menyambungkan kembali kesadaran global yang telah terputus.
Kesadaran yang dimaksud adalah bahwa masyarakat dunia tidak berhak saling menindas, makhluk setara, dan saling membutuhkan. Kesadaran itulah yang ditawarkan oleh ibadah haji.
Ibadah haji adalah cermin kritis untuk kesadaran global. Haji bukan hanya ritual, melainkan “protes suci” terhadap sistem dunia yang pincang, penuh ambisi, dan cenderung bengis.
Haji bukan sekadar ibadah, melainkan unjuk rasa suci terhadap sistem dunia yang timpang secara jomplang.
Esensi terdalam ibadah haji meniadakan dominasi yang kini menjadi penyakit kronis dan akut dunia internasional.
Haji bukan “pelarian religius”, melainkan ritus revolusioner yang mengumandangkan gagasan agung bahwa dunia global harus dibangun di atas persamaan dan penghormatan pada martabat semua warga dunia.
Di Arafah nanti, jutaan orang duduk dalam kekhusyukan doa massal. Tanpa senjata dan tanpa pidato politik yang memprovokasi.
Ini adalah simbol nyata dari dunia yang diimpikan, yaitu dunia tanpa agresor, tanpa pengungsi yang mengenaskan dalam trauma dan ketakutan, tanpa nuklir, tanpa ledakan bom, dan tanpa penyanderaan.
Baca juga: Kejujuran dan 100 Hari Kerja Kepala Daerah
Sementara itu, dalam ritual lempar jumrah terdapat konfirmasi moral bahwa tirani, ego, dan ketamakan global harus dijadikan musuh bersama, jangan dipelihara melainkan harus dibasmi.
Adapun tawaf merupakan “putaran protes suci” terhadap permainan kotor global. Dalam pusaran manusia yang mengitari Kabah terdapat simbol perlawanan spiritual terhadap poros kekuasaan global yang pongah dan semena-mena.
Ketika pemimpin negara-negara adikuasa mempermainkan nasib umat manusia melalui perang dagang dan utak-atik tarif, ritual tawaf merespons dengan gerak melingkar yang tertib, teratur, dan terpusat.
Ritual tawaf memberitahukan bahwa dunia membutuhkan orbit yang adil, bukan pusaran kepentingan yang diciptakan para pemimpin adikuasa yang ugal-ugalan.
Selama ini kita mengharap dan mengandalkan bahwa etika global yang kita butuhkan hari ini lahir dari debat akademik atau forum-forum elite internasional. Ternyata, terlambat datang dan malah tidak kunjung lahir. Melalui ibadah hajilah kita berharap agar etika global lahir.
Ibadah haji menyadarkan manusia bahwa bumi ini bukan milik satu bangsa atau satu sistem ekonomi, tetapi anugerah bersama yang harus dijaga, dibagi, dan diwariskan secara adil ke generasi yang akan datang.
Haji memberi inspirasi bagi umat manusia untuk menyusun kembali tatanan global. Jika semangat haji—kesetaraan, kesederhanaan, dan solidaritas—diterjemahkan ke dalam kebijakan global, perusahaan-perusahaan internasional tidak akan mengejar profit dengan cara menekan buruh miskin.
Baca juga: Pemimpin Penghibur dan Pengatur
Suatu negara seharusnya tidak menjarah kekayaan negara lain. Masyarakat dunia mengutamakan hidup berbagi, penuh simpati, berempati, dan saling memahami.
Namun, yang kita saksikan secara kasat mata dalam realitas geopolitik adalah negara di dunia yang mengejar kepentingannya sendiri tanpa kendali moral.
Haji memberi pola konkret etika global. Dalam hamparan jutaan manusia yang beragam, dengan pola ritual yang sama, ibadah haji menyampaikan pesan bahwa manusia yang berbeda bisa hidup bersama tanpa merasa memiliki hak menguasai yang lain.
Itulah spiritualitas global dalam ibadah haji yang belum pernah berhasil kita terjemahkan ke dalam struktur dunia. Mungkin pernyataan semacam ini adalah utopia moral yang indah, tapi naif.
Namun, utopia ini harus terus digaungkan, sebagai ilusi strategis yang menekan kerakusan, membingkai diplomasi, dan “menyemprot” para predator global.
Kadang, utopia diperlukan bukan karena pasti akan nyata, tapi karena satu-satunya harapan menghadapi realitas yang brutal.
Dunia tidak kekurangan konferensi perdamaian atau deklarasi internasional. Yang kurang adalah kesadaran moral kolektif global, yang dapat ditumbuhkan dari ritual haji.
Haji menuntun masyarakat global agar sadar bahwa masa depan hanya bisa dipertahankan oleh nilai-nilai kebersamaan, saling mengenal, dan tanggung jawab lintas batas.
Ritual haji mengajarkan bahwa peradaban yang bertahan bukanlah yang paling kuat atau paling kaya, melainkan yang paling manusiawi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.