JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang pada PT Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Tahun 2018-2023.
Sebelumnya, pada Februari 2025, Kejagung telah lebih dulu menetapkan anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Kini, anak dan bapak tersebut kompak berstatus sebagai tersangka dalam kasus tata kelola minyak mentah di Pertamina.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, Riza Chalid ditetapkan jadi tersangka sebagai Beneficial Owner PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak.
Abdul Qohar menyebut, Riza Chalid bersepakat dengan tiga tersangka lain, yaitu Vice President Supply dan Distribusi Kantor Pusat PT Pertamina tahun 2011-2015 Alfian Nasution (AN); Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Tahun 2014 Hanung Budya (HB); dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak dan juga Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara, Gading Ramadhan Joedo (GRJ) menyewakan terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) tangki Merak.
Baca juga: Kejagung Tetapkan Riza Chalid Tersangka Kasus Korupsi Pertamina
"Melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan tersangka HB, AN dan GRJ secara melawan hukum untuk menyepakati penyewaan Terminal BBM Tangki Merak," kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Padahal, menurut Qohar, PT Pertamina belum membutuhkan tambahan penyimpanan stok BBM.
"Dengan melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina berupa memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak yang pada saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM,” ujarnya.
Selain itu, ketiganya diduga menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama, serta menetapkan harga kontrak yang tinggi.
Sementara itu, Kejagung sebelumnya menyebut bahwa Kerry adalah salah satu pihak yang diuntungkan dari hasil mark up kontrak pengiriman dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF).
Baca juga: Pengoplosan Pertamax di Kasus PT Pertamina Niaga Dilakukan di Perusahaan Anak Riza Chalid
Dalam keterangan resmi Kejagung dikatakan bahwa negara harus mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen akibat mark up kontrak shipping atau pengiriman tersebut.
"Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 persen secara melawan hukum, sehingga Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” demikian keterangan resmi Kejagung pada 25 Februari 2025.
Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut perihal nilai keuntungan yang didapat oleh Kerry Adrianto Riza dari mark up kontrak pengiriman tersebut.
Kejagung hanya mengatakan, pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang tersebut sebagai perbuatan melawan hukum.
Abdul Qohar menjelaskan bahwa pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri pada periode tahun 2018–2023.
Baca juga: Peran Anak Riza Chalid di Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah