
DUA puluh satu tahun yang lalu, bangsa ini membuka jalan baru bagi perwakilan daerah melalui amandemen konstitusi.
Lahir satu lembaga yang kita namai Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang dimaksudkan menjadi suara wilayah dalam arsitektur republik yang luas, majemuk, dan berlapis.
Namun, setelah dua dekade, janji itu belum sepenuhnya menjelma. DPD hadir sebagai institusi dengan legitimasi langsung dari rakyat daerah, tetapi pengaruhnya sering tak sebanding dengan mandat konstitusionalnya.
Seperti rumah besar yang punya banyak pintu, tapi beberapa ruang penting tetap terkunci rapat.
Ketika jurang pembangunan antarwilayah menganga, ketika sengketa sumber daya pecah di banyak tempat, dan ketika ketidaksetaraan fiskal terasa di pelosok negeri, pertanyaan itu kembali menggugah: apakah negara ini sungguh mendengar wilayah, atau hanya memintanya diam dalam sopan santun demokrasi?
Penguatan DPD hari ini bukan sekadar agenda teknis. Ia agenda keadilan republik. Agenda pemenuhan janji yang pernah kita ucapkan bersama.
Konstitusi telah memberi arah. Pasal 22D UUD 1945 menyebut DPD dapat mengajukan dan ikut membahas RUU terkait otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, keuangan daerah, dan sumber daya alam.
Baca juga: Projo di antara Kultus Jokowi dan Kekuasaan Prabowo
Namun, tafsir politik melalui UU MD3 mereduksinya menjadi pemberi pandangan, bukan pengambil bagian yang menentukan.
Padahal, dalam sepuluh tahun terakhir, transfer ke daerah dan dana desa secara konsisten menjadi salah satu pos terbesar APBN—sekitar sepertiga belanja negara menurut Nota Keuangan Kementerian Keuangan.
Jika keuangan daerah adalah nadi kesejahteraan, logis bila representasi daerah ikut menjaga detaknya.
DPD bukan dimaksudkan sebagai notulen negara, tetapi sebagai kanal koreksi dan penyambung nalar pusat ke daerah.
Ketika konstitusi memberi amanat, tetapi regulasi membatasi, problemnya bukan pada teks dasar, melainkan kemauan menuntaskannya.
Dalam demokrasi majemuk, keseimbangan kekuasaan bukan keistimewaan; ia kebutuhan. Arend Lijphart menunjukkan bahwa dalam consensus democracy, pembagian kekuasaan dan representasi wilayah melalui bikameralisme yang kuat menjadi ciri penting. Bukan untuk memecah negara, tetapi menjaga keragaman dalam satu rumah konstitusi.
Amerika Serikat memberi Senat hak legislatif penuh serta kewenangan strategis dalam pengangkatan pejabat dan persetujuan traktat.
Jerman melalui Bundesrat memastikan kebijakan pusat yang menyentuh Länder tak berjalan tanpa suara daerah. Australia mengizinkan Senate mengoreksi anggaran bila merugikan federasi.