SOLO, KOMPAS.com - Tarif royalti pemutaran musik untuk bus tidak ditetapkan flat, melainkan dipersonalisasi berdasarkan penggunaan nyata dengan menghitung jumlah penumpang, tarif tiket, lama pemutaran musik, dan porsi penggunaan.
Hanya saja, aturan tersebut dinilai tidak jelas lantaran saat ini tidak ada alat kontrol untuk menentukan durasi pemutaran musik dan porsi penggunaannya. Hal ini dinilai bisa jadi mainan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Selain itu, besaran penagihan royalti pemutaran musik di dalam bus per tahun bisa menyentuh angka miliaran rupiah dengan perhitungan kasar. Kondisi ini dapat berdampak pada penyesuaian harga tiket bila diterapkan.
Baca juga: Deretan Bus AKAP Lakukan Gerakan Transportasi Indonesia Hening Hindari Royalti
Ketentuan resmi mengenai besaran royalti pemutaran musik di dalam bus diatur dalam Surat Keputusan LMKN Nomor 20160512PBKK.
Berdasarkan SK tersebut, tarif royalti bagi moda transportasi seperti pesawat, bus, kereta api, dan kapal laut dihitung dengan formula sebagai berikut:
Penjelasan Unsur dalam Rumus:
Baca juga: Gerakan Transportasi Hening, Perlawanan Membabi Butanya Penagihan Royalti Musik
Tagar transportasi Indonesia Hening dampak pengenaan royalti pemutaran musik di dalam bus.Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengatakan dari rumus tersebut ada kejanggalan terkait bagaimana LMKN mengawasi durasi pemutaran musik di dalam bus.
“Hitungan ini pun bias, anggaplah tarif kami (PO SAN) yang paling murah Rp 300.000, itu 0,25 persennya Rp 750, terus belum dikalikan durasi, padahal bus kami yang rute Sumatera jarak tempuhnya antara 18 jam sampai 72 jam, tinggal mau dikalikan berapa,” ucap Sani kepada Kompas.com, belum lama ini.
Belum lagi bicara jumlah penumpang per bus dalam hitungan hari, dengan jumlah rata-rata 40 kursi di PO SAN sendiri. Sementara jumlah bus yang beroperasi setiap hari ada 94 bus.
Baca juga: Gaduh Royalti, Hotel di Banyuwangi Perdengarkan Instrumen Musik Tradisional
Bus baru PO SAN“Sehari itu, saya sempat menghitung kasar secara internal bisa sampai Rp 8 jutaan, karena jumlah penumpang dalam satu bus bisa sampai 50 kursi juga, itu dikali 30 dalam sebulan, dalam hitungan tahun bisa miliaran rupiah (Rp 2,9 miliar),” ucap Sani.
Potensi besaran tagihan royalti tersebut bagi perusahaan otobus tentu memberatkan, karena bisa berdampak pada penyesuaian harga tiket. Padahal, saat ini daya beli masyarakat sedang lesu.
“Maka dari itu kami bersikap dengan gerakan transportasi Indonesia hening, yakni pelarangan pemutaran musik selama perjalanan kepada seluruh kru, jangan sampai kena somasi seperti industri sebelah, sampai dihitung mundur segala,” ucap Sani.
Baca juga: Pilih Stop Berkomentar Soal Polemik Royalti, Ari Lasso: Hidupku Kembali Normal
Selain itu, menurut Sani, perhitungan pengenaan royalti di atas masih bias, dan berpotensi dijadikan bulan-bulanan (mainan) oleh oknum tak bertanggung jawab, yang bisa menyusahkan perusahaan.
“Saya bingung, itu bagaimana LMKN memantau durasi pemutaran musik selama perjalanan,” ucap Sani.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang