Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Dekonstruksi Tambang Ilegal Jawa Barat: Indikasi Praktik Transaksional

Kompas.com - 08/06/2025, 07:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERISTIWA longsor di tambang Galian C Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, adalah tragedi ekologis sekaligus tragedi administrasi.

Dalam kejadian memilukan tersebut, tercatat 31 orang menjadi korban, dengan 21 orang meninggal dunia, dan empat orang lainnya belum ditemukan.

Fakta ini menjadi alarm serius bagi kita semua, bahwa tata kelola pertambangan di daerah sangat rentan disusupi maladministrasi, kelalaian prosedural, dan bahkan indikasi korupsi.

Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, menyampaikan bahwa terdapat empat perizinan yang tercatat di lokasi tambang tersebut, di antaranya milik Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah dan Kopontren Al Ishlah.

Namun, yang menjadi sorotan adalah bahwa sejak 2024, area tambang tersebut tidak lagi memiliki dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Artinya, kegiatan pertambangan tetap berjalan tanpa persetujuan teknis yang sah.

Ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 42 dan 43 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang mensyaratkan RKAB sebagai dokumen wajib untuk aktivitas operasi produksi.

Baca juga: Ahli: Gunung Kuda Longsor karena Penggalian Salah yang Picu Rekahan Tanah

Dari sisi teknis geologi, lokasi tambang Gunung Kuda berada di zona dengan tingkat kerentanan gerakan tanah yang sangat tinggi.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Muhammad Wafid, menyebutkan bahwa kemiringan tebing lebih dari 45 derajat dan metode penambangan dengan teknik undercutting menjadi pemicu utama longsor.

Hal ini diperkuat oleh analisis dari Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Adrin Tohari, yang mengidentifikasi potensi longsoran berupa rock fall, rock toppling, dan rock slide di daerah pertambangan jenis batuan. (Harian Kompas, 31/5/2025)

Pertanyaannya, mengapa semua risiko ini seolah tidak diantisipasi? Jawabannya bukan semata pada kekurangan sumber daya teknis, tetapi justru pada lemahnya penegakan regulasi.

Dalam sistem perizinan tambang, aspek lingkungan dan keselamatan kerja seharusnya telah tercakup dalam dokumen AMDAL, RKAB, dan studi kelayakan yang menyeluruh. Ketiadaan atau pengabaian terhadap dokumen-dokumen tersebut adalah bentuk nyata dari maladministrasi.

Praktik transaksional dan korupsi

Maladministrasi bukan sekadar kelalaian administratif. Ia sering menjadi pintu masuk dari praktik korupsi yang lebih sistemik.

Dalam konteks tambang Gunung Kuda, fakta bahwa peringatan sudah diberikan, tapi aktivitas terus berjalan menunjukkan kemungkinan adanya “pembiaran yang disengaja”.

Bahkan, jika saya menganalisis lebih dalam lagi, aktivitas tambang yang tetap beroperasi tanpa dokumen RKAB dan tidak ditindak oleh instansi pengawas, maka logikanya adalah terdapat dugaan kompensasi atau relasi transaksional yang tidak terlihat secara kasat mata.

Sekali lagi, saya perlu tekankan ada dugaan relasi transaksional yang tidak terlihat secara kasat mata.

Baca juga: Raja Ampat dan Tiga Wajah Pembangunan: Manusia, Alam, dan Keuntungan

Ini yang menjadi dasar kuat untuk menduga bahwa telah terjadi pelanggaran dalam bentuk gratifikasi atau suap, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B atau pasal 6 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Lebih jauh lagi, jika kerugian negara dan korban jiwa bisa dikaitkan secara kausal dengan pembiaran tersebut, maka Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor tentang memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum dengan merugikan keuangan negara, juga dapat diterapkan.

Sudah saatnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam tidak hanya berorientasi pada nominal kerugian negara, tetapi juga pada penyalahgunaan kewenangan.

Mengacu pada definisi World Bank (2020), korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.

Maka jika seorang pejabat dengan sadar membiarkan tambang ilegal beroperasi, dan akibatnya menyebabkan kematian warga serta kerusakan lingkungan, maka ia telah melakukan korupsi, bahkan meski tidak ada transaksi uang tunai.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan IUP berdasarkan SK Gubernur No. 4056/KUKM.02.04.03/PEREK tertanggal 30 Mei 2025.

Langkah ini penting, tapi harus dilanjutkan dengan langkah represif oleh aparat penegak hukum.

Dalam hal ini, penegakan dapat dilakukan melalui: UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, untuk menjerat pelaku yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan; UU Ketenagakerjaan, pengabaian keselamatan kerja; Pasal 359 KUHP, untuk menjerat pelaku yang karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain; hingga kemungkinan jeratan pasal UU Tipikor.

Bukan sekadar kewenangan

Kini saatnya kita berhenti menyederhanakan masalah hanya pada sentralisasi atau desentralisasi izin tambang.

Diskursus antara pusat dan daerah selama ini kerap gagal menangkap akar masalah yang lebih dalam: pembiaran sistemik dan absennya pengawasan yang ketat.

Kebijakan tidak cukup hanya diatur siapa yang berwenang memberi izin, tetapi bagaimana mencegah penyimpangan dalam prosesnya.

Korupsi di sektor pertambangan hari ini bukan sekadar korupsi uang negara, tetapi kebijakan yang koruptif yang terselubung dalam regulasi dan kelonggaran sistem.

Baca juga: Tambang Nikel Raja Ampat: Ironi Narasi Transisi Energi Hijau

 

Bahkan, praktik “backing-membacking” dari oknum aparat penegak hukum yang tidak pernah diputus menjadi relasi transaksional yang tidak kasat mata, tapi nyata terasa.

Mereka menyulap tambang ilegal menjadi seolah-olah legal, mengaburkan jejaknya melalui struktur administratif yang berlapis dan kolutif.

Pemerintah perlu segera merombak pendekatan hukum dalam sektor pertambangan. Penegakan hukum harus lebih berani menyasar pelanggaran prosedur sebagai pintu masuk pembuktian korupsi.

Tidak perlu menunggu aliran dana haram muncul dalam rekening tersangka, perlu membuktikan ada penyalahgunaan kewenangan yang disengaja, maka tindakan koruptif sudah dapat dibongkar.

Selain itu, Kementerian ESDM harus berani melakukan refleksi dan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi-regulasi yang memberi ruang kompromi moral dalam praktik tambang.

Ada terlalu banyak peraturan teknis yang multitafsir, celah koordinasi antar-instansi yang lemah, hingga prosedur perizinan yang justru menumpuk ketidakpastian hukum.

Korupsi yang terselubung dalam aturan ini jauh lebih berbahaya karena menciptakan sistem yang menormalisasi penyimpangan.

Bung Hatta pernah berpesan, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan bangsa sendiri”.

Pertanyaannya kini: siapa yang sedang kita lawan hari ini? Korporasi rakus? Oknum penegak hukum? Pejabat korup? Atau sistem yang sengaja dibuat pincang demi kepentingan pribadi?

Saatnya kita bertanya pada diri: apa yang sudah saya berikan untuk bangsa ini? Karena kalau kita diam, bukan hanya tanah yang digali, tapi juga harga diri bangsa ini yang ikut terkubur.

Mari kita suarakan desakan, bukan sekadar pada pemutusan izin, tetapi pada perubahan menyeluruh—agar tragedi seperti di Gunung Kuda tidak menjadi rutinitas kematian yang dianggap biasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau