UNGARAN, KOMPAS.com - Tiga bus terparkir rapi di garasi PO Vian Trans yang terletak di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.
Di antara bus tersebut, ada dua kru yang sedang bersih-bersih dan membenahi perangkat kelengkapan bus.
Salah satunya adalah Danang Ragil Santoso, yang dalam kesehariannya menjadi salah satu sopir bus pariwisata yang terparkir tersebut.
Saat tidak berangkat bekerja, dia memanfaatkan waktu untuk melakukan perawatan, mulai dari mencuci hingga melakukan pemeriksaan kelengkapan di armada tersebut.
"Dalam setahun ada tiga bulan yang terhitung sepi orderan, yakni saat puasa, bulan Suro, dan Agustus, karena memiliki kesibukan di kampung masing-masing," kata Danang, Selasa (19/8/2025).
Baca juga: Royalti Musik Rp 15 Juta per Room Dinilai Tak Masuk Akal, Pengusaha Karaoke Bandungan Protes
Namun, bukan itu yang menjadi beban pikirannya saat ini.
Danang mengaku merasa resah dengan kebijakan penerapan aturan royalti di bus pariwisata.
Baginya, alunan musik tak hanya sekadar suara, tetapi juga teman perjalanan.
Dia mengaku takut jika terkena aturan tersebut saat memutar musik.
Danang mengaku memerlukan musik di dalam bus agar tidak jenuh dan tidak mengantuk saat mengantar wisatawan ke daerah tujuan.
"Memang setiap sopir memiliki kebiasaan sendiri-sendiri, tapi kalau saya butuh musik. Tapi dilema juga, kalau kena royalti ditanggung sopir, sesuai kebijakan kantor," paparnya.
"Saat ini persaingan antar bus pariwisata sangat ketat, saling banting harga. Kesejahteraan dan gaji sopir tidak banyak, kalau kena royalti habis buat bayar nanti, apalagi yang diterapkan sistem premi bersih," ujar Danang.
Selain kejelasan mengenai penerapan aturan royalti, Danang juga berharap kebijakan tersebut ditinjau ulang.
"Pariwisata ini kan salah satu tujuannya menghadirkan kebahagiaan dan pengalaman baru dalam perjalanan. Dengan adanya musik, maka wisatawan bisa bernyanyi di dalam bus sehingga suasana menjadi seru," kata dia.
"Harapannya ya itu, kalau membuat peraturan, jangan memberatkan masyarakat, karena tidak tepat juga kalau royalti diratakan di semua tempat. Ini bisa menjadi beban baru untuk pekerja di bidang pariwisata," ungkap Danang.
Danang mengatakan pernah membawa wisatawan, namun tidak menyalakan perangkat audionya.
"Bawa rombongan ke Yogya, ternyata mereka yang meminta ada musik. Ini dilema, karena akankah selamanya kami berkendara dalam sunyi?" paparnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini