KOMPAS.com – Kasus perundungan (bullying) di sekolah menjadi perhatian serius di banyak negara, termasuk di Asia.
Fenomena ini tak hanya berdampak pada kesehatan mental siswa, tetapi juga memengaruhi prestasi belajar serta iklim pendidikan secara keseluruhan.
Untuk itu, sejumlah negara seperti Singapura dan Jepang telah mengembangkan pendekatan komprehensif untuk mencegah serta menangani kasus bullying di lingkungan pendidikan.
Langkah yang dilakukan kedua negara ini tidak hanya berfokus pada hukuman, melainkan juga pada pendidikan karakter, pendampingan psikologis, dan kerja sama antara sekolah, keluarga, serta masyarakat.
Baca juga: Kasus Bullying Timothy, Praktisi Desak Rektor Minta Maaf: Pelajaran bagi Semua Kampus
Pemerintah Singapura melalui Ministry of Education (MOE) menegaskan bahwa semua bentuk perilaku menyakiti teman sebaya, baik verbal, psikologis, maupun fisik, akan ditangani secara serius.
Dilansir dari laman moe.gov.sg, Rabu (22/10/2025), sekolah dan institusi pendidikan tinggi memiliki aturan yang melarang segala bentuk bullying.
Dilansir dari The Straits Times, pemerintah Singapura telah meluncurkan National Anti-Bullying Framework yang berfokus pada pencegahan melalui edukasi dan intervensi psikologis.
Pemerintah Singapura juga bekerja sama dengan keluarga, komunitas, dan mitra eksternal untuk menangani kasus bully secara cepat.
Baca juga: Mensos Ingatkan di Sekolah Rakyat Tak Boleh Ada Bullying
Langkah yang dilakukan Singapura antara lain:
Selain itu, Singapura juga memiliki instrumen hukum Protection from Harassment Act (POHA) yang dapat digunakan oleh korban untuk meminta perlindungan hukum.
Dilansir dari Channel News Asia, MOE kini sedang meninjau kebijakan melalui Comprehensive Action Review against Bullying untuk memperkuat pendekatan disiplin, rehabilitasi, serta praktik restoratif di sekolah.
Baca juga: Menbud Fadli Zon Harap Lagu Anak-anak Bisa Bantu Cegah Bullying
ilustrasi bullying - Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar memastikan tengah mengusut tuntas kasus kematian Timothy Anugrah Saputra (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud) Bali, yang diduga menjadi korban perundungan (bullying) di lingkungan kampus.Sementara itu, Jepang memiliki pendekatan berbeda. Negara ini mengadopsi sistem “Zero Tolerance Policy” terhadap segala bentuk kekerasan di sekolah, baik fisik maupun verbal.
Dilansir dari The Japan Times, pemerintah Jepang memperkuat penerapan Act for the Promotion of Measures to Prevent Bullying yang pertama kali diberlakukan pada 2013 dan terus diperbarui.
Sekolah diwajibkan membentuk komite khusus anti-bullying yang terdiri atas guru, orangtua, psikolog, dan perwakilan siswa.
Komite ini bertugas melakukan investigasi independen terhadap laporan perundungan, sekaligus memberikan dukungan konseling kepada korban.