Penulis: Zoe Kleinman/BBC News Indonesia
KOMPAS.com - Penggunaan gadget atau gawai identik dengan hal yang buruk pada anak, seperti depresi, tantrum, dan lainnya. Namun jika dilihat dari ilmu pengetahuan, mungkin dampaknya tidak sesederhana yang terlihat.
Beberapa hari lalu, saat saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah, saya memberikan iPad milik suami saya kepada anak bungsu kami agar dia tetap terhibur.
Namun, beberapa saat kemudian, saya tiba-tiba merasa tidak nyaman karena saya tidak memperhatikan dengan saksama berapa lama anak saya menggunakan iPad atau apa yang dia tonton.
Baca juga: Batasi Gawai Hindari Bullying, Anak Indonesia Diajak Main Permainan Tradisional
Jadi, saya katakan padanya bahwa sudah waktunya untuk berhenti.
Tantrum besar pun meledak. Dia menendang, berteriak, memegang iPad erat-erat, dan mencoba mendorong saya menjauh dengan sekuat tenaga anak di bawah lima tahun yang sedang marah.
Jujur saja, itu bukan momen terbaik saya sebagai orangtua, dan reaksi ekstremnya membuat saya khawatir.
Anak-anak saya yang lebih besar kini sedang menjelajahi media sosial, realitas virtual, gim daring, dan terkadang hal itu juga membuat saya khawatir.
Saya mendengar mereka saling mengejek tentang perlunya touch the grass atau menyentuh rumput, istilah dalam bahasa Inggris untuk berhenti bermain gawai dan beraktivitas di luar rumah.
Mendiang Steve Jobs, CEO Apple saat perusahaan itu merilis iPad, dikenal tidak mengizinkan anak-anaknya sendiri memiliki alat itu.
Bill Gates juga pernah mengatakan bahwa ia membatasi akses anak-anaknya terhadap teknologi.
Baca juga: Brain Rot dan Krisis Senyap di Balik Gawai
Penggunaan gawai atau screen time identik dengan kabar buruk, disalahkan atas meningkatnya depresi pada remaja, masalah perilaku, dan kurang tidur.
Ahli saraf terkemuka, Susan Greenfield, bahkan sampai mengatakan bahwa penggunaan internet dan permainan komputer dapat membahayakan otak remaja.
Pada 2013, Susan mengumpamakan efek negatif dari waktu menonton layar yang terlalu lama dengan masa-masa awal perubahan iklim: sebuah pergeseran signifikan yang tidak ditanggapi serius oleh masyarakat.
Kini, banyak orang yang menanggapi hal ini lebih serius. Namun, peringatan tentang sisi gelapnya mungkin tidak menceritakan keseluruhan cerita.
Sebuah editorial di British Medical Journal berpendapat bahwa klaim Susan Greenfield tentang otak tidak didasarkan pada penilaian ilmiah yang adil terhadap bukti-bukti yang ada dan menyesatkan orang tua serta masyarakat luas.
Kini, sekelompok ilmuwan lain Inggris mengklaim bahwa bukti ilmiah yang konkret tentang dampak negatif penggunaan gawai masih kurang. Jadi, apakah kita salah dalam mengkhawatirkan anak-anak kita dan membatasi akses mereka ke tablet dan ponsel pintar?
Baca juga: Hari Anak Nasional 2025, Membumikan Permainan Tradisional untuk Atasi Dampak Buruk Gawai
Pete Etchells, profesor psikologi di Bath Spa University, adalah salah satu akademisi yang berpendapat bahwa bukti-bukti tersebut masih kurang.
Ia telah menganalisis ratusan penelitian tentang waktu layar dan kesehatan mental, serta sejumlah besar data tentang anak muda dan kebiasaan mereka di depan layar.
Dalam bukunya Unlocked: The Real Science of Screen Time, ia berpendapat bahwa ilmu di balik kesimpulan yang sensasional (menarik perhatian media) itu tidak konsisten dan, dalam banyak kasus, cacat.
"Bukti ilmiah yang konkret untuk mendukung cerita tentang dampak buruk waktu layar sama sekali tidak ada," tulisnya.
Penelitian yang diterbitkan oleh American Psychology Association pada 2021 menunjukkan hasil yang serupa.
Baca juga: Anak Tantrum saat Gawai Diambil? Psikolog: Itu Bisa Jadi Tanda Awal Kecanduan
Ke-14 penulisnya, yang berasal dari berbagai universitas di seluruh dunia, menganalisis 33 penelitian yang diterbitkan antara tahun 2015 dan 2019.
Mereka menemukan bahwa menggunakan gawai, termasuk ponsel pintar, media sosial, dan gim video, memiliki pengaruh kecil dalam masalah kesehatan mental.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa cahaya biru, seperti yang dipancarkan oleh layar gawai membuat penggunanya lebih sulit untuk tertidur karena menekan hormon melatonin.
Namun, sebuah tinjauan terhadap 11 penelitian dari seluruh dunia pada tahun 2024 tidak menemukan bukti secara keseluruhan bahwa cahaya layar dalam satu jam sebelum tidur membuat lebih sulit untuk tertidur.
Baca juga: Negara yang Melarang Para Siswa Bawa Gawai ke Sekolah