GAZA, KOMPAS.com – Serangan udara dan artileri Israel mengguncang wilayah timur Kota Gaza sepanjang malam, Selasa (12/8/2025). Sedikitnya 11 orang dilaporkan tewas, menurut keterangan saksi mata dan petugas medis.
Di tengah situasi tersebut, pemimpin Hamas Khalil Al Hayya tiba di Kairo, Mesir, untuk melanjutkan pembahasan rencana gencatan senjata Gaza yang dimediasi Amerika Serikat (AS).
Putaran terakhir perundingan tidak langsung di Qatar berakhir buntu pada akhir Juli 2025. Baik Israel maupun Hamas saling menyalahkan atas kebuntuan pembahasan proposal gencatan senjata selama 60 hari, termasuk kesepakatan pembebasan sandera.
Baca juga: 5 Negara Ini Akan Akui Palestina, Apakah Bisa Ubah Situasi di Gaza?
Sejak itu, Israel menyatakan akan melancarkan operasi baru untuk merebut kembali kendali atas Kota Gaza.
Kawasan ini sempat dikuasai pasukan Israel setelah pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, sebelum akhirnya mereka mundur.
"Pertemuan Hamas dengan para pejabat Mesir, yang dijadwalkan dimulai Rabu (13/8/2025), akan berfokus pada cara-cara untuk menghentikan perang, mengirimkan bantuan, dan mengakhiri penderitaan rakyat kami di Gaza," kata pejabat Hamas, Taher Al Nono, dalam pernyataannya.
Rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperluas kendali militer atas Gaza pada Oktober 2025 memicu kecaman internasional. Kritik datang akibat dampak kehancuran, pengungsian, dan kelaparan yang meluas terhadap 2,2 juta penduduk Gaza.
Di dalam negeri, rencana itu juga menuai penolakan. Kepala staf militer Israel memperingatkan langkah tersebut dapat mengancam keselamatan sandera yang masih hidup dan berisiko menjadi jebakan mematikan bagi pasukan Israel.
Kekhawatiran juga muncul terkait pengungsian massal dan kesulitan baru yang berpotensi dialami sekitar satu juta warga Palestina di Kota Gaza.
Baca juga: AS Tolak Kritik Israel soal Tewasnya 4 Jurnalis Al Jazeera di Gaza
Menteri luar negeri dari 24 negara, termasuk Inggris, Kanada, Australia, Perancis, dan Jepang, menyatakan pada Selasa bahwa krisis kemanusiaan di Gaza sudah sangat parah.
Mereka mendesak Israel untuk mengizinkan masuknya bantuan tanpa batas ke wilayah tersebut.
Israel membantah bertanggung jawab atas kelaparan di Gaza, dan menuding Hamas mencuri bantuan.
Sebaliknya, Hamas mengeklaim telah meningkatkan distribusi bantuan dengan menghentikan pertempuran pada waktu-waktu tertentu di sejumlah wilayah, serta menetapkan rute aman bagi konvoi kemanusiaan.
Seorang pejabat Palestina yang mengetahui proses mediasi mengatakan, Hamas siap kembali ke meja perundingan. Delegasi yang tiba di Kairo pada Selasa disebut akan menegaskan sikap tersebut.
"Hamas percaya bahwa negosiasi adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri perang dan terbuka untuk membahas gagasan apa pun yang akan memastikan berakhirnya perang," kata pejabat tersebut kepada Reuters.
Meski begitu, perbedaan pendapat kedua pihak dinilai masih lebar, terutama terkait sejauh mana penarikan pasukan Israel dan tuntutan agar Hamas melucuti senjata.
Baca juga: Albanese: Netanyahu Abaikan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Seorang pejabat Hamas menyebut pihaknya bersedia menyerahkan pemerintahan Gaza kepada komite non-partisan, tetapi menegaskan tidak akan menyerahkan senjata sebelum negara Palestina berdiri.
Sementara itu, Netanyahu yang didukung sekutu koalisi ultranasionalis sayap kanan, bersumpah perang tidak akan berakhir sampai Hamas dibasmi.
Pada Selasa, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan 89 warga Palestina tewas akibat serangan Israel dalam 24 jam terakhir.
Saksi mata mengatakan tujuh orang tewas di dua rumah di pinggiran Zeitoun, Kota Gaza, dan empat orang lainnya di sebuah gedung apartemen di pusat kota akibat pemboman malam sebelumnya.
Di Khan Younis, lima orang termasuk pasangan suami istri dan anak mereka tewas akibat serangan udara di rumah mereka. Empat orang lainnya meninggal di kamp tenda pesisir Mawasi.
Baca juga: Upaya Membungkam Laporan Perang di Gaza, Israel Tewaskan 5 Jurnalis Al Jazeera
Militer Israel menyatakan sedang menyelidiki laporan tersebut dan menegaskan pasukannya berupaya meminimalkan korban sipil.
Israel juga mengeklaim telah menewaskan puluhan anggota kelompok bersenjata di Gaza utara dalam sebulan terakhir serta menghancurkan terowongan militan di wilayah itu.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Gaza juga melaporkan lima kematian tambahan dalam 24 jam terakhir akibat kelaparan dan gizi buruk, termasuk dua anak-anak.
Dengan demikian, jumlah korban tewas karena penyebab tersebut sejak perang dimulai mencapai 227 orang, terdiri dari 103 anak-anak.
Israel menolak angka tersebut dan membantah data yang dikeluarkan otoritas kesehatan Gaza.
Diketahui, perang ini pecah pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas menyerbu Israel selatan dan menewaskan 1.200 orang, serta menyandera 251 orang.
Baca juga: Greta Thunberg dan Aktivis Dunia Akan Berlayar Lagi Bawa Bantuan Kemanusiaan ke Gaza
Sejak itu, serangan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 61.000 warga Palestina, menurut data pejabat kesehatan setempat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini