Adhi berharap lebih banyak anak muda Indonesia masuk dunia AI global.
Menurutnya, kehadiran diaspora di posisi strategis mempermudah jembatan antara teknologi global dan kebutuhan lokal.
"Sebagai diaspora di bidang AI, tugas kami adalah bagaimana kita dari dalam mendorong lebih banyak kerja sama-kerja sama dengan negara-negara berkembang termasuk di Indonesia."
Ia menyebut dua contoh yang pernah ia lakukan untuk mendorong kolaborasi dengan sejumlah pihak di Indonesia.
"Yang pertama buat machine learning AI Summer School pada 2019, sebelum AI se-booming sekarang. Ada kolega dari Google dan ada juga dari Meta, dari Facebook yang terbang ke Jakarta," cerita Adhi.
Google menyumbang Rp500 juta, kata Adhi.
Hal ini terjadi berkat adanya dorongan dari diaspora—orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Sponsor ini diberikan karena Indonesia dianggap penting.
Google, menurut Adhi, juga memberikan sponsor untuk membantu banyak mahasiswa yang tertarik untuk belajar tentang kecerdasan buatan (AI).
"Yang kedua buat data set bahasa Indonesia. Kerja sama saya di DeepMind dan Google membantu resources hardware dengan biaya miliaran rupiah dan hasilnya kita open source, kita release ke publik," jelas Adhi.
"Itu dua contoh, bagaimana diaspora bisa membantu, kerja sama AI seperti DeepMind dengan Indonesia."
Upaya ini krusial. Menurut riset Lazada—platform e-commerce di Asia Tenggara—Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina menghadapi kesenjangan yang signifikan, karena jumlah talenta AI yang tersedia jauh di bawah kebutuhan.
Tantangannya beragam, mulai dari kurangnya kurikulum yang relevan, kurangnya investasi dalam pelatihan, hingga persaingan gaji yang ketat dengan sektor swasta atau negara lain.
Bagi direktur ilmuwan riset DeepMind, Marc'Aurelio Ranzato, keberadaan peneliti seperti Adhi, memperkaya pemahaman konteks local dalam pengembangan teknologi AI global.
"Seiring dengan semakin meluasnya sistem AI di masyarakat, ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan konteks dan budaya lokal," kata Marc.
"Cara terbaik untuk mencapai adaptasi tersebut adalah dengan melibatkan para pakar AI dari seluruh dunia," lanjut pria yang juga manajer langsung Adhi tersebut.
Di tengah potensi AI yang besar, pakar keamanan siber Heru Sutadi mengingatkan bahwa keterlambatan regulasi bisa membuka celah penyalahgunaan.
"Chatbot seperti Gemini bisa digunakan untuk membuat pesan phishing yang sangat personal, menyamar jadi bank atau kerabat untuk mencuri data," katanya.
AI juga bisa menghasilkan hoaks, menyebarkan malware, bahkan melakukan serangan siber otomatis yang sulit dideteksi.
"Karena itu perlu regulasi ketat, sertifikasi chatbot AI, dan peningkatan literasi digital," tambahnya.
Heru berharap kontribusi ilmuwan seperti Adhiguna Kuncoro dapat memperkuat inovasi AI lokal sambil meminimalkan ancaman digital.
Kini, model seperti Gemini dan ChatGPT mewakili era baru AI yang bisa diajak bicara, menulis, hingga menyelesaikan soal ujian.
Bagi Adhi, sebagai peneliti AI, prinsip "berani mimpi, berani gagal dan tahan banting" perlu tetap dipegang dalam menghadapi perkembangan pesat ke depan.
Pesan Adhi untuk generasi muda Indonesia yang ingin masuk dunia AI: percaya diri dan tahan banting.
"Kita tidak kalah pintar dibanding orang dari China atau India," katanya.
"Tapi mereka lebih berani bermimpi. Mereka biasa bermimpi kerja di DeepMind, jadi profesor di Harvard, menang Nobel. Orang Indonesia masih jarang punya contoh."
Namun, ia menekankan pentingnya membangun mentalitas siap gagal.
"Mereka berani gagal, dan coba lagi. Ada yang bahkan berani gadaikan rumah karena percaya pada mimpi mereka. Jadi jangan takut gagal."
Baca juga: Diusir AS, Seorang Ilmuwan Bantu China Jadi Negara Adidaya
Artikel ini pernah dimuat di BBC Indonesia dengan judul Ilmuwan Indonesia di jantung AI – Perjalanan dari Bandung ke Oxford, hingga markas DeepMind.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini