Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rachland Nashidik
Entrepteneur, Penulis

Pendiri IMPARSIAL - the Indonesian Human Rights Monitor. Sebelumnya, ikut mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), kemudian Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) dan SETARA Institute. Sejak tahun 2010 menjadi kader Partai Demokrat.

Kebijakan Trump Salah Zaman

Kompas.com - 28/08/2025, 14:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESIDEN Donald Trump baru-baru ini mengancam China: Beri Amerika Serikat magnet rare-earth -- atau kalau tidak, China akan dihukum dengan tarif impor 200 persen.

Pernyataan Trump itu menandai eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam perang dagang di antara dua negara.

Sudah sejak ia pertama kali berkuasa, Presiden Donald Trump menggelorakan perang dagang terhadap Cina. Ia memberlakukan tarif tinggi untuk impor baja, aluminium, panel surya, mesin cuci, hingga ribuan produk lain dari China, bernilai lebih dari 360 miliar dollar AS.

Awalnya, kebijakan tarif impor ini diambil Trump sebagai upaya elektoral: "Rust Belt politics". Rust Belt—Michigan, Ohio, Pennsylvania, Wisconsin—adalah wilayah industri lama yang memberi Trump kemenangan elektoral pada 2016. Suara dari pemilih di wilayah inilah yang hendak terus ia rawat.

Namun, kemudian Trump melangkah lebih jauh. Ia jadikan tarif sebagai simbol politik: "America First".

Baca juga: Politik Ingatan: Dari Museum Smithsonian ke Indonesia

 

Ia bicara seolah ini panasea: bukan cuma mengurangi defisit perdagangan, tapi membangkitkan industri, dan dengan demikian, repatriasi lapangan pekerjaan ke Amerika.

Kenyataannya, apa yang datang ke Amerika bukanlah kebangkitan manufaktur -- melainkan inflasi barang konsumsi dan ketidakpastian rantai pasok global.

Banyak perusahaan justru memindahkan rantai pasok mereka ke Vietnam, Meksiko, dan Bangladesh—negara yang masih menawarkan buruh murah tanpa dikenai tarif.

Trade diversion ini membuktikan bahwa tarif lebih banyak mengalihkan arus dagang daripada mengembalikan pekerjaan ke negeri asal.

Pagi-pagi, Paul Krugman sudah mengecam kebijakan tarif Trump ini “self-inflicted damage”—luka yang ditimbulkan Amerika pada dirinya sendiri.

Joseph Stiglitz menilainya sebagai kebijakan yang tidak koheren.

Sementara Lawrence Summers menegaskan, tarif bukanlah jawaban atas lemahnya daya saing industri Amerika. Tarif hanyalah pajak impor. Dan pajak itu tidak dibayar oleh China -- melainkan oleh perusahaan Amerika, dengan demikian, oleh konsumen Amerika sendiri.

Dan memang, Federal Reserve Bank of New York menghitung, perang dagang Trump justru menambah beban setiap rumah tangga hampir sebesar 1.400 dollar AS per tahun.

Harga mesin cuci, misalnya, naik 12 persen. Sementara kapasitas produksi dari produsen domestik tidak bertambah.

Di balik kegaduhan tarif dan retorika elektoral itu, ada kenyataan yang lebih besar: perubahan struktural dalam perekonomian global.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau