Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UMKM China Ketar-ketir, Iuran Jaminan Sosial Pekerja Akan Dibebankan ke Pengusaha

Kompas.com - 29/08/2025, 12:54 WIB
Inas Rifqia Lainufar

Penulis

BEIJING, KOMPAS.com – Mulai 1 September 2025, seluruh pengusaha di China diwajibkan membayar iuran jaminan sosial bagi karyawan mereka.

Kebijakan ini mencakup dana pensiun, asuransi kesehatan, cuti melahirkan, hingga tunjangan lainnya.

Aturan tersebut digalakkan untuk memperkuat jaring pengaman sosial China yang selama ini dinilai rapuh.

Baca juga: Demi Jaminan Sosial, Wanita Ini Simpan Mayat Ibunya di Freezer Selama 2 Tahun

Namun, alih-alih disambut gembira, kebijakan ini justru memicu keresahan di kalangan pengusaha kecil dan pekerja.

Pebisnis kecil terancam gulung tikar

Pasar Xinfadi, Beijing, China.KOMPAS.com/Ardito Ramadhan Pasar Xinfadi, Beijing, China.

Banyak pemilik usaha kecil mengaku keberatan karena biaya tenaga kerja mereka dipastikan melonjak drastis.

Yan Xuejiao, pemilik warung mi beras di Beijing, mengatakan, bisnisnya yang sudah lesu bisa semakin terpuruk.

“Kalau mereka paksa kami bayar, ya kami harus tutup dan pulang saja,” kata Yan, sambil menunjuk deretan restoran kosong di sekitarnya.

Ia menambahkan, “Tahun ini bisnis sedang parah. Coba tanyakan, pemilik usaha mana yang masih sanggup? Kami semua sudah hampir menyerah dengan biaya sewa tempat.”

Kondisi ini menggambarkan dilema yang dihadapi pemerintah. Di satu sisi, Beijing butuh memperkuat dana pensiun nasional yang diprediksi habis pada 2035.

Namun, di sisi lain, ekonomi yang lesu membuat banyak usaha kecil sudah kesulitan bertahan bahkan sebelum aturan ini diterapkan.

Beban berat bagi pekerja

Keresahan juga muncul di kalangan pekerja. ZZ Zeng, karyawan restoran Korea di dekat warung Yan, memperkirakan gajinya akan terpangkas lebih dari 1.000 yuan (sekitar Rp 2,3 juta) setiap bulan karena harus berbagi pembayaran iuran dengan majikan.

“Gaji saya 6.000 yuan (sekitar Rp 13 juta). Kalau dipotong, saya harus ambil dari tabungan untuk bayar cicilan rumah 5.000 yuan (sekitar Rp 11 juta). Saya lebih memilih tetap tanpa asuransi. Uang di tangan jauh lebih memuaskan,” ujarnya.

Beberapa pekerja bahkan khawatir perusahaan akan mengganti pegawai tetap dengan pekerja harian agar bisa menghindari kewajiban tersebut.

Hal itu sudah dipikirkan Hu Yang, pemilik salon rambut di Beijing. Ia berencana memotong gaji karyawannya untuk menutup biaya tambahan.

Baca juga: BI Beijing dan KJRI Guangzhou Dorong UMKM Indonesia Ekspor ke China

“Kalau tidak, saya harus menanggung ribuan dolar per bulan. Mana sanggup? Bukan cuma salon, restoran dan bisnis kecil lain juga sama saja,” ujarnya.

Aturan lama yang baru ditegakkan

Sebenarnya, hukum di China sejak lama mewajibkan pengusaha dan pekerja membayar iuran jaminan sosial.

Besarannya berbeda tiap wilayah, tapi umumnya sekitar 10 persen dari gaji pekerja dan 25 persen dari pihak pengusaha.

Namun, aturan ini jarang ditegakkan. Banyak perusahaan memilih memberikan uang tunai tambahan kepada karyawan sebagai pengganti iuran.

Hasil survei tahun lalu terhadap lebih dari 6.000 perusahaan menunjukkan, hanya kurang dari 30 persen yang benar-benar patuh.

Situasi berubah bulan lalu ketika Mahkamah Agung China menyatakan perjanjian informal itu tidak sah. Pengadilan kini akan mendukung pekerja yang menuntut iuran jaminan sosial mereka.

“Kebijakan ini juga untuk menjawab masalah penuaan penduduk,” kata Chen Yifang, hakim yang menangani kebijakan tersebut.

Ketidakpercayaan generasi muda

Meski tujuannya melindungi pekerja, banyak anak muda justru pesimistis dengan masa depan sistem jaminan sosial.

Mereka ragu dana pensiun akan bertahan hingga masa pensiun mereka tiba, mengingat angka kelahiran terus turun dan jumlah pekerja semakin sedikit.

“Kalau kami harus bayar lagi 20 tahun, apa saya masih hidup sampai saat itu? Dan kalaupun masih hidup, apa bisa yakin uang itu benar-benar akan saya terima?” kata Yan Xuejiao yang kini berusia 40-an.

Zongyuan Zoe Liu, peneliti di Council on Foreign Relations, menilai ketidakpercayaan itu berakar pada sejarah penyalahgunaan dana pensiun oleh pemerintah lokal serta stagnasi pendapatan pekerja.

“Ini hitungan sederhana. Kalau gaji tidak naik, bagaimana orang bisa percaya kontribusi mereka hari ini akan terdistribusi puluhan tahun ke depan?” ujarnya.

Menurut Lu Quan, profesor jaminan sosial di Universitas Renmin Beijing, pemerintah seharusnya menurunkan tarif kontribusi agar tidak terlalu membebani usaha kecil.

“Prasyarat partisipasi wajib adalah sistem yang baik. Jadi kita tetap harus menurunkan tarif pembayaran. Dua hal ini saling terkait,” katanya.

Namun, Liu menambahkan, masalah mendasar tetap sulit dipecahkan.

“Ini bukan sekadar soal ekonomi bisa tumbuh lalu masalah selesai. Persoalan lebih dalam adalah kepercayaan publik terhadap sistem.”

Baca juga: Mulai 2026, Vietnam Makin Gencar Pungut Pajak hingga Sasar UMKM

 

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau