BEIJING, KOMPAS.com – Presiden China Xi Jinping untuk pertama kalinya akan bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Beijing pekan ini.
Pertemuan tersebut berlangsung di tengah parade militer besar-besaran yang digelar China, sekaligus menunjukkan soliditas Beijing dengan dua sekutunya yang berambisi menantang tatanan global pimpinan Barat.
Langkah Xi itu juga kontras dengan sikap isolasionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang dinilai melemahkan aliansi tradisional Washington dengan negara-negara mitranya.
Baca juga: Rusia Kecam Macron karena Hina Putin secara Vulgar
Kunjungan Putin dan Kim ke Beijing dipandang sejumlah analis sebagai penguatan "poros pergolakan".
Aliansi ini dapat bertumpu pada pakta pertahanan Rusia-Korea Utara yang ditandatangani pada Juni 2024, serta hubungan serupa antara China dan Pyongyang.
Jika terealisasi, kerja sama tersebut berpotensi mengubah kalkulasi militer di kawasan Asia Pasifik.
Kim tiba di Beijing pada Selasa (2/9/2025) pagi dengan kereta khususnya. Di sisi lain, Xi dan Putin terlebih dahulu bertemu dengan Perdana Menteri Mongolia di Balai Agung Rakyat, membahas proyek pipa gas dan isu bilateral lainnya.
Dalam pertemuan itu, Putin menyampaikan apresiasi kepada Xi, sebagaimana diberitakan Reuters pada Selasa (2/9/2025).
“Terima kasih kepada sahabat karib saya atas sambutan hangat. Komunikasi yang erat menunjukkan hubungan Rusia dengan China berada pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Putin dalam video yang diunggah di Telegram resmi Kremlin.
Xi menekankan perlunya menolak dominasi politik global. “Kita harus terus mengambil sikap tegas terhadap hegemonisme dan politik kekuasaan,” kata Xi dalam forum yang dihadiri lebih dari 20 pemimpin negara non-Barat, Senin.
Baca juga: Jarang Adakan Perjalanan Diplomatik, Apa Misi Kim Jong Un Kunjungi China?
Selain dengan Putin, Xi juga menggelar pembicaraan dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pertemuan tersebut menandai upaya pemulihan hubungan bilateral yang sempat tegang.
Di saat bersamaan, pemerintahan Trump justru meningkatkan tekanan perdagangan terhadap New Delhi terkait pembelian minyak dari Rusia.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut pertemuan di Beijing sekadar “performatif”. Ia menuding China dan India sebagai “aktor jahat” yang memperpanjang perang Rusia-Ukraina.
Diketahui, penguatan hubungan Rusia, China, dan Korea Utara dinilai dapat menimbulkan ancaman baru.
“Latihan militer trilateral antara Rusia, China, dan Korea Utara tampaknya hampir tak terelakkan,” tulis Youngjun Kim, analis Biro Riset Asia Nasional di AS, Maret lalu.