Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang Rayakan Kedewasaan Pangeran Hisahito, Apakah Calon Penerus Kaisar?

Kompas.com - 06/09/2025, 15:19 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber AFP

TOKYO, KOMPAS.com – Jepang menggelar upacara meriah di Istana Kekaisaran Tokyo pada Sabtu (6/9/2025) untuk merayakan kedewasaan Pangeran Hisahito.

Perayaan ini menandai awal peran resmi sang pangeran sebagai anggota dewasa keluarga kekaisaran, di tengah perdebatan panjang soal krisis suksesi.

Pangeran Hisahito (19), adalah putra dari Pangeran Akishino sekaligus keponakan Kaisar Naruhito. Ia berada di urutan kedua pewaris takhta setelah ayahnya (Pangeran Akishino).

Baca juga: Ini Sejarah Jepang dari Zaman Muromachi sampai Era Kaisar Naruhito

Dalam upacara tersebut, Hisahito menerima mahkota sutra dan pernis hitam, simbol kedewasaan dalam tradisi kekaisaran Jepang.

“Terima kasih banyak telah menganugerahkan mahkota hari ini pada upacara kedewasaan,” ujar Hisahito sambil membungkuk kepada Kaisar Jepang, Naruhito dan Permaisuri Masako, yang membalas dengan senyum.

“Saya akan memenuhi tugas saya, menyadari tanggung jawab saya sebagai anggota dewasa keluarga kekaisaran,” imbuh dia, dikutip dari AFP pada Sabtu (6/9/2025).

Upacara tradisional dan arak-arakan

Pada awal upacara, Hisahito mengenakan kostum kuning tradisional untuk anak di bawah umur.

Setelah prosesi, ia berganti pakaian gelap, busana resmi bagi bangsawan dewasa, sebelum menaiki kereta kuda menuju acara seremonial berikutnya.

Momen ini sekaligus menegaskan posisinya dalam garis suksesi, mengingat aturan saat ini hanya memperbolehkan laki-laki menduduki Tahta Krisan.

Baca juga: Kaisar Jepang Naruhito Pidato Peringati 80 Tahun Berakhirnya Perang Dunia II

Putri Aiko tersingkir oleh aturan suksesi

Meski Kaisar Naruhito memiliki seorang putri, Putri Aiko (23), aturan kekaisaran melarang perempuan menjadi kaisar.

Padahal, jajak pendapat publik menunjukkan dukungan luas terhadap kemungkinan kaisar perempuan.

“Bagi saya, tidak ada bedanya apakah seorang perempuan menjadi kaisar atau laki-laki,” kata Yuta Hinago, bartender berusia 33 tahun di Tokyo.

Hal senada diungkapkan Minori Ichinose (28), seorang pramuniaga paruh waktu. “Gender tidak penting,” ujarnya kepada AFP, sembari menegaskan dukungannya terhadap gagasan kaisar perempuan.

Perdebatan lama soal reformasi

Isu suksesi perempuan bukan hal baru. Pada 2005, panel pemerintah sempat merekomendasikan agar takhta diberikan kepada anak tertua tanpa memandang jenis kelamin. Namun, kelahiran Hisahito setahun kemudian menghentikan perdebatan tersebut.

“Para politisi menunda masalah ini dengan alasan Hisahito masih muda,” jelas Kenneth Ruoff, Direktur Pusat Studi Jepang di Universitas Negeri Portland.

Kaum konservatif menolak perubahan aturan, dengan alasan suksesi laki-laki yang tak terputus selama 2.600 tahun adalah fondasi bangsa.

Baca juga: Kunjungan Kaisar Naruhito Simbol Eratnya Hubungan Indonesia-Jepang

Tekanan pada perempuan kekaisaran

Selain isu pewaris laki-laki, tekanan terhadap perempuan keluarga kekaisaran juga menjadi sorotan. Tradisi menuntut putri-putri kekaisaran keluar dari keluarga kerajaan setelah menikah.

Salah satu usulan modernisasi adalah mengizinkan mereka tetap menjalankan tugas publik meski sudah menikah.

Di sisi lain, kelompok konservatif mendorong agar kerabat jauh laki-laki dibawa kembali untuk memperkuat garis keturunan, meski belum jelas apakah mereka bersedia meninggalkan karier pribadi.

Hisahito sendiri mengaku belum memikirkan soal pernikahan. Namun, sejarah menunjukkan besarnya tekanan pada perempuan di keluarga kekaisaran untuk melahirkan anak laki-laki.

Permaisuri Masako, misalnya, sempat berjuang melawan penyakit akibat stres setelah masuk keluarga kerajaan. Permaisuri Emeritus Michiko, ibu Kaisar Naruhito, juga mengalami kondisi serupa.

Adik Hisahito, Mako, bahkan meninggalkan status kerajaan setelah menikah dengan Kei Komuro, teman kuliahnya.

Pernikahan itu menuai liputan tabloid yang intens, terutama terkait masalah keuangan keluarga Kei. Akibat tekanan, Mako dilaporkan mengalami gangguan stres pascatrauma kompleks sebelum akhirnya pindah ke Amerika Serikat bersama suaminya.

Baca juga: Profil Pemimpin Dunia: Naruhito, Kaisar Jepang

Fokus publik bergeser

Meski dukungan masyarakat terhadap kaisar perempuan tinggi, isu ini belum menjadi prioritas politik.

Sejarawan kekaisaran Hideya Kawanishi dari Universitas Nagoya menilai perhatian publik kini lebih banyak tertuju pada masalah ekonomi.

“Jika orang-orang yang umumnya mendukung (kaisar perempuan) menjadi lebih lantang, maka para politisi dapat menjadi lebih serius,” ujarnya.

“Ketika upacara berakhir, masyarakat, termasuk media, menjadi tenang dan melanjutkan hidup,” jelasnya,

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau