SEOUL, KOMPAS.com – Para pemimpin ekonomi Asia-Pasifik menyerukan pentingnya ketahanan dan manfaat bersama dalam sistem perdagangan global menjelang berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Seoul, Korea Selatan, Sabtu (1/11/2025).
Deklarasi bersama diadopsi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan kebijakan ekonomi agresif antara Amerika Serikat (AS) dan China yang dinilai menekan perdagangan dunia.
Pertemuan tahunan APEC tahun ini digelar di bawah bayang-bayang perang tarif, kontrol ekspor, dan persaingan strategis yang menguji solidaritas negara-negara anggota.
Baca juga: APEC 2025 Digelar di Gyeongju Korsel, Persiapan Mulai Dilakukan
Menjelang KTT, Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangkaian kesepakatan perdagangan baru, termasuk dengan China dan Korea Selatan, namun ia meninggalkan Seoul sebelum pertemuan dimulai.
Meskipun Trump tidak hadir, pandangan Washington tetap tercermin dalam deklarasi akhir, yang tidak lagi menyinggung istilah “multilateralisme” atau “Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)” sebagaimana tahun lalu.
“Ini adalah pengakuan bahwa sulit memulihkan tatanan perdagangan bebas berbasis multilateralisme dan WTO,” ujar Heo Yoon, profesor perdagangan internasional dari Universitas Sogang, Seoul.
“Kita tidak dapat lagi menyangkal adanya pergeseran paradigma dalam tatanan perdagangan global,” tambahnya.
Dengan absennya Trump, China berupaya tampil sebagai pendukung utama perdagangan bebas dan terbuka, peran yang selama ini dipegang AS.
Presiden China Xi Jinping dalam pidato penutupan mengumumkan bahwa negaranya akan menjadi tuan rumah KTT APEC 2026 di Shenzhen.
Baca juga: Yordania-Jerman Sepakat Pasukan Internasional di Gaza Harus Ada Mandat PBB
Xi juga mengusulkan pembentukan Organisasi Kerja Sama Kecerdasan Buatan Dunia dan menandatangani deklarasi terpisah mengenai perubahan demografi serta teknologi AI, meski belum membahas regulasi yang lebih luas.
“China memanfaatkan ketidakhadiran Trump untuk membangun kedekatan dengan negara-negara yang khawatir atas melemahnya pengaruh AS dan bangkitnya China,” ujar Li Xing, profesor di Institut Strategi Internasional Guangdong.
“Mereka ingin meyakinkan mitra seperti Korea Selatan bahwa China tidak mengejar hegemoni, melainkan kesejahteraan bersama,” lanjutnya, sebagaimana diberitakan Reuters.
Namun, para analis menilai deklarasi bersama itu tetap berhati-hati agar tidak menyinggung AS atau menampilkan China sebagai satu-satunya penjaga tatanan perdagangan dunia.
“Hanya sedikit negara yang benar-benar percaya akan adanya tatanan baru yang mengecualikan Amerika Serikat,” ujar Heo.
Usai KTT, Xi Jinping menutup kunjungan tiga harinya di Korea Selatan dengan menghadiri jamuan makan malam kenegaraan dan pertemuan puncak bersama Presiden Lee Jae Myung.
Lee, sekutu AS yang baru terpilih pada Juni lalu, berjanji untuk menyeimbangkan hubungan Seoul dengan Beijing setelah pendahulunya digulingkan akibat upaya gagal memberlakukan darurat militer.
Ia menghadapi tantangan besar yakni menjaga ketahanan ekonomi berbasis ekspor Korea Selatan sambil meredakan ketegangan dengan Korea Utara di tengah persaingan AS–China yang semakin intens.
“Sulit mengatakan hubungan Korea Selatan dan China telah sepenuhnya pulih,” kata Lee dalam konferensi pers menjelang pertemuannya dengan Xi.
“Kita harus melampaui pemulihan hubungan dan mencari jalur kerja sama yang saling menguntungkan,” lanjutnya.
Baca juga: Trump Dukung Israel Balas Serangan di Gaza, 104 Warga Palestina Tewas
Sebelumnya, Lee juga menjamu Presiden Trump dalam kunjungan kenegaraan singkat, memuji kerja sama kedua negara dan mengumumkan kesepakatan perdagangan baru yang menurunkan tarif AS dengan imbalan investasi besar Korea Selatan di Amerika.
Kunjungan Xi menjadi yang pertama ke Korea Selatan dalam 11 tahun, menandai upaya mempererat hubungan bilateral setelah periode panjang ketegangan diplomatik.
Dalam pertemuan tersebut, Lee meminta dukungan Xi untuk melibatkan Korea Utara dalam dialog perdamaian, menurut kantor kepresidenan Seoul.
Namun, media pemerintah China tidak menyinggung isu Korea Utara dalam laporan resmi mereka.
Pernyataan keras kemudian datang dari Pyongyang, yang menyebut upaya denuklirisasi sebagai “impian kosong” dan menolak segala bentuk tekanan internasional terhadap program senjatanya.
Sementara itu, Trump sempat menawarkan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un selama kunjungannya ke Seoul, namun Pyongyang tidak memberikan tanggapan publik.
Di sela KTT APEC, Trump juga bertemu Xi dan mencapai kesepakatan perdagangan mencakup penurunan tarif AS untuk produk China, kerja sama memerangi perdagangan ilegal fentanil, pembelian kembali kedelai AS, serta kelanjutan ekspor tanah jarang dari China.
Baca juga: Presiden Samia Suluhu Menang Telak di Tengah Protes Berdarah Tanzania
Xi turut mengadakan pembicaraan bilateral dengan para pemimpin Jepang, Kanada, dan Thailand.
Dari pihak Taiwan, perwakilan Lin Hsin-i menyampaikan bahwa ia dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent membahas isu rantai pasokan dan industri semikonduktor di sela-sela pertemuan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang