
KABAR gembira program 3 juta rumah dari Presiden Prabowo Subianto dan stimulus ekonomi yang diiringi sorotan terhadap Status Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah menciptakan polemik panjang.
Awalnya, ratusan 111.500 permohonan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dianggap terganjal status macet Kolektibilitas 5 (Kol 5) dengan baki utang kecil, seringkali di bawah Rp 1 juta.
Namun, data aktual yang divalidasi oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan OJK membuktikan sebaliknya, bahwa jumlah permohonan KPR yang benar-benar tertolak akibat SLIK hanya sedikit. Bahkan, data sementara hanya 100 debitur.
Baca juga: Terganjal SLIK OJK, Utang 111.000 Calon Nasabah KPR Bakal Dihapus
Lalu, jika SLIK OJK bukan biang keladinya, di mana sebetulnya letak sumbatan utama rendahnya penyaluran kredit konsumer yang sangat dinantikan sebagai stimulus ekonomi?
Permasalahan sesungguhnya tidak terletak pada OJK atau sistem SLIK yang transparan, melainkan pada beban risiko dan prinsip kehati-hatian atau prudent banking practice yang wajib dijaga oleh bank.
Bagi bank, menyetujui KPR, terutama bagi debitur dengan riwayat Kol 5, status menunggak lebih dari 180 hari, adalah keputusan yang berisiko tinggi dan memiliki konsekuensi regulasi yang serius.
Sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2021, bank wajib membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) hingga 100 persen untuk setiap kredit Kol 5.
Ini berarti, modal bank tergerus penuh, bahkan sebelum kredit baru disalurkan. Menyerap risiko kredit macet lama dengan menanggung 100 persen modal adalah praktik yang sangat mahal dan merusak profitabilitas.
Baca juga: Utang MBR di Bawah Rp 1 Juta Akan Diputihkan, Syarat Lolos SLIK OJK Buat Beli Rumah
Setiap persetujuan Kol 5 berpotensi menaikkan rasio Non-Performing Loan (NPL) bank. NPL yang melebihi ambang batas pengawasan yang umumnya 5 persen dapat memicu sanksi dari OJK, mulai dari peringatan hingga pembatasan ekspansi bisnis.
Dengan beban regulasi dan risiko finansial seberat ini, sangat wajar jika bank menerapkan praktik self-screening yang ketat. Status Kol 5, sekecil apa pun nominalnya, secara otomatis memicu alarm risiko.
Ironisnya, bahkan status non-karyawan seperti pekerja informal atau freelancer pun seringkali membuat pengajuan KPR tidak terfasilitasi sama sekali, sehingga mereka tidak pernah muncul dalam data penolakan SLIK.
Mereka adalah ratusan ribu calon konsumen yang pupus duluan sebelum berani melangkah ke pintu bank.
Lalu, bagaimana pemerintah dapat merealisasikan janji hunian bagi MBR tanpa memaksa bank mengorbankan prinsip kehati-hatiannya?
Jawabannya ada pada penciptaan mekanisme uji kedisiplinan dan kemampuan membayar tambahan.
Mekanisme ini terangkum dalam skema Rent-to-Own (RTO), yang berfungsi sebagai jembatan yang elegan antara kebutuhan inklusi sosial dan manajemen risiko perbankan.
Bagi calon debitur dengan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pembayaran bulanan bisa langsung dialihkan menjadi sewa hunian yang sudah ditempati.
Baca juga: Skema Sewa Beli Rumah, Cocok Buat Pekerja Informal yang Terganjal SLIK OJK
Dengan demikian, debitur bisa membangun rekam jejak pembayaran yang konsisten dan positif misalnya, selama 12-24 bulan.
Cicilan bulanan bisa berarti mengandung komponen sewa ditambah tabungan pembelian atau ekuitas.
Sementara bagi bank, skema RTO dapat menjadi mitigasi risiko dalam menilai repayment capacity berdasarkan disiplin pembayaran RTO yang aktual, bukan dari historis Kol 5 yang bermasalah.
Selain itu, RTO juga menyerap masa kritis ketika Probability of Default (PD) secara statistik paling tinggi melalui tahun pertama tenor KPR.
Keterlibatan perusahaan RTO atau aggregator dapat membagi beban risiko atau risk sharing kredit awal.
Upaya pemerintah untuk "memutihkan" utang kecil patut diapresiasi, namun itu adalah solusi tambal sulam.
Solusi jangka panjang yang berkelanjutan adalah membangun catatan baik yang baru, bukan sekadar menghapus catatan buruk yang lama.
Inilah peran krusial perusahaan RTO Aggregator yang menggunakan teknologi Kecerdasan Buatan atau Akal Imitasi (AI) untuk melakukan underwriting awal yang lebih inklusif terhadap non-karyawan dan debitur Kol 5.
Hal ini karena AI dapat menilai kelayakan kredit dari MBR berdasarkan data alternatif yang lebih luas, melampaui data SLIK konvensional.
Baca juga: 70 Persen Calon Kreditur KPR Terganjal SLIK OJK
Perusahaan RTO memberikan pembinaan intensif selama masa uji RTO minimal 12 bulan, agar konsumen terbiasa dengan kedisiplinan pembayaran KPR.
Dengan adanya RTO, bank tidak perlu lagi menutup mata atau mengabaikan potensi pasar MBR.
Sebaliknya, bank dapat mengelola risiko secara proaktif dan memperluas portofolio pembiayaan dengan kualitas nasabah yang sudah teruji kedisiplinannya.
Pada akhirnya, isu perumahan layak bukan hanya soal akses, tapi juga keberlanjutan.
Melalui inovasi RTO, dapat menjembatani kebutuhan sosial MBR dengan prinsip kehati-hatian perbankan, demi mewujudkan fondasi ekonomi yang kuat dan inklusif.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang