KOMPAS.com - Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk menolak pemberian visa kepada Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, untuk menghadiri Sidang Umum PBB pada bulan depan.
Keputusan ini dianggap langkah besar dan kontroversial, terutama karena banyak negara diperkirakan akan mengakui negara Palestina pada pertemuan dunia itu.
Departemen Luar Negeri AS pada Jumat (29/8/2025) menyatakan akan menolak dan mencabut visa bagi para anggota Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Salah seorang pejabat di Departemen Luar Negeri AS mengonfirmasi hal tersebut, mengatakan bahwa Abbas termasuk yang terkena kebijakan itu, bersama dengan sekitar 80 pejabat PA lainnya.
Namun, misi Palestina di PBB disebut tetap akan mendapat izin khusus sesuai dengan Perjanjian Markas Besar PBB.
Meski begitu, penolakan visa untuk Abbas dianggap bertentangan dengan perjanjian tersebut karena PBB mengakui Palestina sebagai negara pengamat (non-member observer state).
Baca juga: Dunia Dihantui Krisis Bertumpuk, Ini 28 Risiko Global Menurut PBB
Dilansir dari CNN, Sabtu (30/8/2025), penolakan pemberian visa diketahui akan membatasi kehadiran pejabat Palestina dalam sidang besar tahunan PBB.
Di saat yang sama, perang di Gaza masih berlangsung, serta sejumlah negara berencana akan mengakui negara Palestina dalam sidang besar tersebut.
Pihak kepresidenan Palestina dalam pernyataannya menyebut keputusan AS sangat disesalkan dan mengejutkan. Mereka mendesak AS untuk meninjau kembali dan membatalkan keputusan tersebut.
Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengatakan pihaknya masih akan melihat detail penerapan kebijakan ini terhadap delegasi Palestina.
"Kami akan melihat apa arti sebenarnya dari pengumuman ini dan bagaimana penerapannya pada setiap delegasi kami, dan kami akan menanggapinya," ujar Mansour.
Baca juga: Perancis Akan Akui Negara Palestina pada Sidang PBB September 2025
Sementara itu, dalam pernyataan yang sama dengan penolakan visa, AS menuduh PA dan PLO ikut berperan dalam gagalnya pembicaraan gencatan senjata di Gaza serta dalam keputusan Hamas yang menolak membebaskan sandera.
“Sebelum kita menganggap mereka serius sebagai mitra perdamaian, PA dan PLO harus sepenuhnya menolak terorisme dan berhenti secara kontraproduktif mengejar pengakuan sepihak terhadap sebuah negara hipotetis," tulis Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott melalui media sosial X.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara, termasuk di antaranya Arab Saudi, UEA, Qatar, Mesir, Indonesia, dan Pakistan mengkritik keputusan AS, dan menyebut keputusan itu diskriminatif.
Dalam pernyataan yang dirilis Jumat (29/8/2025), OKI mengatakan keputusan itu bertentangan dengan hukum internasional dan Perjanjian Markas Besar PBB yang telah ditandatangani, dan menuntut adanya peninjauan ulang.