Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Lesu tapi Tunjangan DPR Naik, Masih Perlukah Negara Melakukan Efisiensi?

Kompas.com - 04/09/2025, 18:00 WIB
Alinda Hardiantoro,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Cibiran terkait kondisi ekonomi Indonesia saat ini disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Agus Setiawan di Ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (3/9/2025).

Dalam pertemuan bersama dengan pimpinan DPR, Agus mempertanyakan kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit.

“Di tengah masyarakat rentan menderita, di-PHK, ekonomi lesu, daya beli masyarakat menurun, kok bisa ada wakil rakyat yang justru kabarnya tunjangannya dinaikkan. Dan ketika ada kabar tersebut terjadi simbolisasi joget-joget dan kemudian membuat hati kami sedih, Bapak-bapak sekalian,” kata Agus, dikutip dari Kompas.com, Rabu (3/9/2025). 

Padahal, selama ini pemerintah terus menggaungkan efisiensi anggaran yang hasilnya disebut akan diinvestasikan ke Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

BP Danantara adalah badan pengelola investasi yang dibentuk untuk mengelola aset serta investasi negara secara profesional. Lembaga tersebut menargetkan akan membangun 15 megaproyek pada tahun ini.

Lantas, masih perlukah negara melakukan efisiensi jika pemerintah bisa menaikkan tunjangan DPR?

Baca juga: Dampak Ekonomi yang Mengintai jika Pemerintah Berlakukan Darurat Militer

Ekonom: Ekonomi bisa bertahan tanpa efisiensi

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa menjalankan pemerintahan tanpa perlu melakukan efisiensi anggaran.

Meski tidak dipungkiri langkah tersebut bisa dilakukan jika pemerintah jeli dalam memilih program untuk direalisasikan.

"Ekonomi bisa bertahan tanpa efisiensi anggaran dengan prasyarat pemerintah bisa renegosiasi utang dengan kreditur, tahan nafsu. Jalankan program populis, seperti makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, serta tunda pembangunan IKN," kata Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/9/2025).

Selain itu, Celios juga melihat adanya saving dari sisi belanja perpajakan sebesar Rp 137,4 triliun.

Menurut Bhima, selama ini insentif fiskal pemerintah kurang tepat sasaran dan tidak berkorelasi langsung dengan upaya menurunkan kemiskinan dan pengangguran di usia muda.

Di sisi lain, terjadi miss-alokasi anggaran yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan perekonomian menjadi lesu.

"Ekonomi lesu karena efek kebijakan efisiensi anggaran, kepercayaan belanja kelompok menengah atas rendah, sementara yang menengah ke bawah tidak mendapat bantuan memadai dari pemerintah," kata Bhima.

Pakar ekonomi itu menyampaikan, seharusnya pemerintah menggunakan anggaran untuk menstimulasi daya beli, meringankan beban pajak masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja formal.

Tapi sebaliknya, pemerintah justru mengalokasikan anggaran tersebut untuk menaikkan tunjangan DPR pada 2026.

"Padahal selama ini nilai tunjangan DPR sudah tinggi, bahkan pajak PPh21-nya ditanggung negara. Kenapa masih minta kenaikan? Empati dan senses of crisis-nya kemana?" ungkap Bhima.

Baca juga: Demo 25 Agustus 2025 di DPR RI: Mahasiswa Tagih RUU, Ojol Keluhkan Ekonomi

Reset ekonomi Indonesia

Bhima mengatakan, untuk memulihkan kondisi ekonomi RI, pemerintah perlu memenuhi delapan tuntutan ekonomi rakyat.

"Tuntutan publik harus dipenuhi dulu," kata Bhima.

Berikut ini isi delapan poin tuntutan ekonomi:

  1. Copot Menteri Keuangan!
  2. Batalkan kenaikan tunjangan DPR. Tetapkan gaji tunggal anggota DPR dengan ketentuan tidak melebihi 3 kali lipat upah minimum Jakarta. Bentuk komite remunerasi independen untuk Pejabat Negara. Setiap pengeluaran dana reses anggota dewan harus menjadi informasi publik!
  3. Segera terapkan Pajak Kekayaan! Dan sahkan RUU Perampasan Aset!
  4. Revisi total regulasi perpajakan. Batalkan kenaikan tarif pajak yang membebani rakyat dan turunkan tarif PPN menjadi 8 persen
  5. Pangkas APBN untuk POLRI dan Evaluasi total anggaran MBG, KopDes Merah Putih, dan Danantara. Alihkan ke subsidi tunai untuk rakyat kecil!
  6. Dorong Restrukturisasi utang pemerintah dan stop nafsu penambahan utang baru!
  7. Jalankan putusan MK terkait Menteri dan Wakil Menteri dilarang rangkap jabatan, termasuk jadi Komisaris, khususnya Menteri Investasi dan Hilirisasi yang merangkap jadi CEO Danantara!
  8. Stop Proyek Strategis Nasional yang merugikan keuangan Negara, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara dan Kawasan Food Estate.

Sebaliknya, jika pemerintah tidak melakukan perbaikan dengan memenuhi tuntutan tersebut, rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sehingga berdampak pada pemasukan pajak.

"Rasio pajaknya akan turun di bawah 8 persen," ungkap Bhima.

Di sisi lain, rating utang pemerintah juga akan turun atau downgrade, beban bunga utang akan semakin mahal sehingga ruang untuk menstimulasi daya beli masyarakat menjadi semakin sempit.

"Ujungnya daya beli merosot, investor distrust, bahkan berujung pada krisis ekonomi," tandas Bhima.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau