KOMPAS.com - Mantan penasihat keamanan nasional Presiden AS Donald Trump, John Bolton kini menghadapi 18 dakwaan pidana atas dugaan penyalahgunaan informasi pertahanan nasional.
Kasus ini tidak muncul secara tiba-tiba. Akar permasalahan bermula dari kontroversi buku memoar Bolton pada 2020, berlanjut pada peretasan siber oleh kelompok Iran pada 2021, hingga akhirnya berujung pada dakwaan resmi oleh Departemen Kehakiman (DOJ) pada 2025.
Baca juga: Konflik Trump dan John Bolton Berujung Penggeledahan FBI di Rumah Mantan Penasihat
Perjalanan kasus yang melibatkan penggeledahan FBI, temuan dokumen bertanda “rahasia”, serta tudingan politisasi hukum menjadikannya gambaran kompleks hubungan antara keamanan negara, hukum, dan politik di Washington.
Lantas, apa saja yang perlu diketahui dari dakwaan eks penasihat Trump terkait informasi rahasia?
Polemik berawal pada 2020 ketika pemerintahan Trump berusaha memblokir penerbitan buku memoar Bolton berjudul The Room Where It Happened. Pemerintah menilai buku itu mengandung informasi rahasia, tetapi pengadilan menolak permintaan tersebut dan buku tetap terbit.
Beberapa bulan kemudian, DOJ membuka penyelidikan untuk memastikan apakah Bolton melanggar hukum dengan mengungkap materi rahasia.
Penyelidikan awal itu sempat ditutup pada 2021, tetapi nama Bolton kembali mencuat setelah terjadi peretasan siber oleh kelompok Iran.
Dilansir CNN, Jumat (17/10/2025), peretas mengklaim telah mengakses akun email pribadinya dan mengancam akan membocorkan dokumen sensitif.
Mereka bahkan mengejeknya dengan pesan,"Good luck, Mr. Mustache!"
Baca juga: Trump soal Gencatan Senjata Gaza: Israel Akan Kembali Bertempur jika Saya Izinkan
Setelah insiden itu, FBI mulai menelusuri potensi kebocoran data dan menilai apakah kebiasaan Bolton mengirim catatan hariannya melalui email pribadi melanggar aturan keamanan negara.
Pada 2022, penyelidikan berkembang menjadi kasus pidana. Jaksa federal di Maryland menemukan indikasi bahwa Bolton tidak hanya menyimpan, tetapi juga membagikan informasi rahasia pertahanan nasional (National Defense Information/NDI) kepada dua anggota keluarganya melalui akun pribadi seperti AOL dan Google.
Dakwaan setebal 26 halaman yang diajukan ke pengadilan menyebut Bolton melanggar 18 pasal hukum, terdiri dari delapan tuduhan penyebaran dan sepuluh tuduhan penyimpanan ilegal informasi rahasia.
Jaksa menyatakan, sebagian dokumen berisi intelijen sensitif mengenai serangan masa depan, rencana musuh terhadap militer AS, hingga komunikasi rahasia dengan pemimpin asing. Jika terbukti bersalah, ia bisa menghadapi hukuman maksimal 10 tahun penjara untuk setiap dakwaan.
Baca juga: Percakapan Prabowo-Trump Bocor di KTT Mesir, Kemenlu Diimbau Segera Berikan Klarifikasi
Kasus ini semakin serius setelah FBI menggeledah rumah Bolton di Bethesda, Maryland, serta kantornya di Washington, DC, pada Agustus 2025. Penggeledahan menghasilkan puluhan dokumen bertanda "secret", "confidential", dan classified".
Dalam berkas pengadilan, agen juga menemukan folder bertuliskan “Trump I–IV”, catatan tentang senjata pemusnah massal, serta dokumen reflektif mengenai operasi militer sekutu.