KOMPAS.com - Perdana Menteri perempuan pertama di Jepang, Sanae Takaichi berencana menghapus pembatasan jam lembur kerja.
Takaichi telah meminta Menteri Ketenagakerjaan untuk mempertimbangkan pelonggaran aturan tersebut.
Hal ini memicu kritik keras dari kelompok payung serikat buruh terbesar di Jepang, Rengo, pada Kamis lalu.
Ketua Rengo, Tomoko Yoshino, memperingatkan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan dorongan terkini masyarakat terkait reformasi gaya kerja.
Baca juga: Siapa Ran Takahashi? Atlet Voli Jepang yang Diduga Selingkuh dengan Bintang Film Dewasa
Dalam konferensi pers, Yoshino menyatakan ketidaksetujuan dengan penghapusan batas jam lembur kerja.
“Hal ini tidak dapat diterima,” ujar Tomoko Yoshino, dikutip dari Japan Today, Jumat (25/10/2025).
Sebelum dilantik menjadi PM pada hari Selasa, Takaichi telah memicu pro kontra terkait ketenagakerjaan.
Ia saat itu berjanji akan membuang istilah "work-life balance" atau keseimbangan antara kehidupan dengan pekerjaan.
Menurut dia, masyarakat termasuk dirinya perlu terus bekerja tidak kenal lelah layaknya "kuda penarik".
"Kita tidak bisa membiarkan batas atas (jam lembur kerja) dilonggarkan," kata Yoshino.
Dia menilai, batas jam lembur di Jepang sudah mendekati ambang batas yang dapat meningkatkan risiko kematian akibat kerja berlebihan.
Baca juga: PM Baru Jepang Sanae Takaichi Mengaku Gemar Drakor, Upaya Redam Kekhawatiran Seoul?
Dilansir dari SCMP, Jumat (25/10/2025), Jepang telah memberlakukan batas maksimum jam lembur kerja sejak 2019.
Dalam setahun, jam lembur yang diizinkan adalah hingga 720 jam, atau dengan kata lain, di bawah 100 jam sebulan jika termasuk kerja pada hari libur.
Karena peninjauan harus dilakukan lima tahun setelah implementasi, pemerintah sebelumnya mengatakan dalam cetak biru kebijakan bahwa peninjauan jam lembur itu akan bersifat komprehensif.
Sementara itu, Takaichi juga telah berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, Kenichiro Ueno.
Ia menginstruksikan Ueno untuk memastikan bahwa pelonggaran aturan apa pun, termasuk jam lembur harus dilakukan dengan mempertimbangkan kesehatan pekerja dan kemauan mereka.
“Kita masih setengah jalan dalam upaya menurunkan karoshi (kematian akibat kerja berlebihan) menjadi nol dan mendorong reformasi gaya kerja,” pungkas Yoshino.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang