
"LEADERSHIP Gap Syndrome" bukan sekadar teori akademik — ini adalah fenomena nyata yang kini menggerogoti banyak organisasi modern.
Ketika Gen X, Y, dan Z bekerja bersama dalam satu korporasi atau organisasi, perbedaan nilai, ritme, dan cara pandang sering kali menciptakan jurang kepemimpinan yang memisahkan, bukan menghubungkan.
Dunia kerja kini menuntut pemimpin adaptif, mampu menjembatani gaya lama berbasis command and control dengan ekspektasi baru berbasis connect and coach, mengacu kepada kaidah bahwa “pemimpin yang tak berubah akan ditinggalkan oleh zaman yang terus berubah.”
Belum terlambat bagi siapapun yang saat ini diberikan amanah untuk memimpin di perusahaan, segera beradaptasi dengan situasi saat ini.
Sedikit berbeda dengan beberapa inspirasi yang saya tulis di edisi sebelumnya, kali ini saya akan menyajikan wawasan tentang Leadership Gap Syndrome dalam tampilan kekinian.
Baca juga: Gen Z dan Jerat Pinjaman Online
Berikut empat dampak buruk sindrom jurang kepemimpinan yang gagal dikelola dengan cerdas dan tangkas, kita kupas dengan ringkas:
Pertama, tingginya turnover rate. Faktanya, banyak talenta terbaik pergi meninggalkan perusahaan dengan gagah berani bukan karena gaji yang kecil, atau fasilitas yang minim. Mereka pergi karena telah kehilangan arah dan makna dalam berkerja.
Gen Y dan Z tidak sekadar mencari pekerjaan, mereka mencari purpose. Saat pemimpin Gen X masih menggunakan nilai-nilai lama seperti fokus pada loyalitas dan stabilitas, para pekerja muda ingin tumbuh dengan tangguh, dihargai dengan tulus, dan diberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi.
Sebagai contoh nyata, hasil Survei LinkedIn 2024 menunjukkan bahwa 64 persen profesional Gen Z meninggalkan perusahaan bukan karena kompensasi, tetapi karena tidak melihat peluang belajar dan pengembangan diri.
Ini menjadi alarm keras bahwa leadership gap langsung berdampak pada retensi talenta, dan pastinya kondisi sesuai dengan hasil riset sebelumnya yang menyimpulkan “People don’t leave bad companies, they leave uninspiring leaders.”
Kedua, lack of engagement. Secara alami karyawan yang tidak merasa didengarkan dan tidak dihargai dengan tulus, akan berhenti berbicara — lalu perlahan berhenti peduli, sering disebut dengan fenomena Quiet Quitting.
Inilah wajah baru disengagement dari kalangan Gen Z. Misalnya, mereka sangat menghargai komunikasi dua arah dan umpan balik yang cepat dan tepat.
Sementara beberapa pemimpin senior masih berpegang pada sistem hierarki kaku peninggalan budaya feodal yang masih mengendap di alam bawah sadar mereka.
Bisa kita lihat contoh kekinian yang terjadi, yaitu banyak startup teknologi di Asia Tenggara mulai menggunakan platform anonymous feedback loop untuk menjaga keterlibatan lintas generasi.
Mereka belajar bahwa mendengarkan secara aktif adalah kunci keterikatan emosional di era digital, gunakan prinisip “Engagement grows where empathy flows.”
Baca juga: Gen Z yang Terabaikan (Lagi) dari Panggung Kebijakan