JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya pemerintah menertibkan penguasaan lahan sawit melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dinilai penting untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam.
Namun, Pakar Hukum Kehutanan Sadino mengingatkan perlunya kehati-hatian dan ketepatan data agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun dampak negatif bagi investasi nasional.
Ia juga menyoroti data dari Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama PT Agrinas Palma Nusantara pada 23 September 2025 yang menunjukkan ketidaksesuaian antara klaim Satgas PKH dan kondisi lapangan.
Dari total 833.413 hektar lahan yang diserahkan kepada Agrinas dalam tahap I–III, hanya 61 persen yang tertanami sawit, sementara 39 persen sisanya merupakan lahan kosong.
Baca juga: Kopdes Merah Putih Berpotensi Kelola Kebun Sawit Sitaan Negara, Skemanya Masih Digodok
Menurut Sadino, tindakan Satgas PKH menguasai kembali lahan kosong tidak sah jika didasarkan pada Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, karena pasal itu hanya berlaku untuk kebun sawit yang telah terbangun.
"Secara hukum, lahan kosong atau semak belukar tidak bisa dikategorikan sebagai kebun yang telah terbangun. Jika Satgas tetap menggunakan pasal ini, maka terjadi error in objecto dan menyebabkan data kebun tidak valid," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (26/10/2025).
Sadino juga mengingatkan agar data yang digunakan Satgas PKH tidak dijadikan dasar langsung untuk penetapan denda.
Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021 dan PP Nomor 45 Tahun 2025 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, perhitungan denda administratif seharusnya didasarkan pada luas kebun terbangun dan status kawasan hutan.
"Jika denda dihitung dari total lahan 100 persen padahal yang tertanami hanya 61 persen, maka denda itu berlebih dan cacat hukum," katanya.
Baca juga: Kebijakan Biodiesel B50 Perlu Hitung Matang agar Sawit Indonesia Tetap Kompetitif
Sadino menambahkan, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap keputusan pemerintah didasarkan pada data yang akurat.
"Kalau data tidak akurat tapi tetap dijadikan dasar kebijakan, itu bisa termasuk maladministrasi. Apalagi jika ketidakakuratan itu disengaja untuk mengejar target luasan atau PNBP, maka termasuk penyalahgunaan wewenang," jelasnya.
Untuk mencegah kesalahan kebijakan, Sadino mendorong penerapan verifikasi berlapis (multi-layered verification).
Pertama, dilakukan verifikasi spasial menggunakan citra satelit resolusi tinggi untuk membedakan tutupan sawit, lahan terbuka, dan semak belukar.
Kedua, dilakukan pengecekan tumpang tindih dengan database perizinan seperti izin lokasi, HGU dan IUP, serta izin pelepasan kawasan yang telah diberikan oleh Pemerintah.